Sriwedari, tetaman surga.
Tempat yang saya bayangkan ketika disebutkan nama Sriwedari adalah sebuah taman yang hangat dengan hijauan rumput menghiasi merah tanahnya. Bunga-bunga bermekaran sembari sesekali siulan burung-burung gereja memanjakan telinga. Ya, begitulah logika terbatas saya bila disuruh menggambarkan seperti apa taman surga. Oleh karena itu, saya merasa sangat antusias saat kelompok penulisan omnibook saya (yang dibentuk dari pelatihan sebuah penerbit) sepakat untuk menuliskan cerita dengan tema besar taman kota. Pilihan saya awalnya jatuh pada Taman Sriwedari yang berada di Solo. Namanya sangat menarik, boleh dibilang namanya Indonesia banget! Lagi pula saat itu band kesukaan saya, Maliq & D’essentials baru mengeluarkan hits terbaru yang berjudul serupa, Setapak di Taman Sriwedari. Makin tertantanglah saya untuk menjadikan Taman Sriwedari sebagai ruh cerpen tulisan saya kali ini.
Jiwa romantis saya yang jarang keluar mulai terusik dan membuat saya membayangkan adegan-adegan pertemuan sepasang kekasih yang terpisah di surga, tetapi bertemu kembali di Taman Sriwedari itu. Terus terang saat itu saya belum pernah mengunjungi Taman Sriwedari sama sekali. Jadi, saya membayangkannya sebagai sebuah taman luas dengan gambaran serupa seperti yang saya ceritakan di awal. Riset pun saya mulai.
Waw! Saya terkesima ketika hasil riset kecil-kecilan saya menyebutkan kalau memang ide awal pembuatan Taman Sriwedari yang dicetuskan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono X itu memang terinspirasi dari taman surga yang ada dalam cerita pewayangan. Jadi, tidak heran bila kemudian beliau menambahkan taman ini dengan berbagai pepohonan dan bunga yang beragam, lalu ditambahkan koleksinya dengan berbagai hewan. Tak lama kemudian, panggung dan gedung pertunjukan kesenian juga ditambahkan untuk meramaikan Taman Sriwedari. Bila awalnya taman ini hanya diperuntukkan bagi keluarga kerajaan, lambat laun masyarakat biasa juga diperbolehkan menikmati keindahan surgawi di Taman Sriwedari. Sampai akhirnya kawasan Taman Sriwedari menjelma tempat rekreasi yang dekat di hati masyarakat Solo. Selain itu, Taman Sriwedari ternyata pernah juga menjadi tuan rumah kegiatan PON pada tahun 1948.
Bagaimana dengan sekarang? Saya mulai kecewa ketika membaca ulasan panjang seseorang tentang taman ini. Dikatakan bahwa Taman Sriwedari dalam kondisi terbengkalai dan tidak dioptimalkan potensinya sebagai objek wisata. Bahkan katanya kalau malam hari, suka ada banci yang mangkal di sekitar wilayah Taman Sriwedari. Beberapa teman yang berkuliah di Solo juga memberitahukan pada saya bahwa Taman Sriwedari tidaklah seperti yang saya bayangkan. Hanya dikunjungi anak-anak yang mau bermain mainan seperti di pasar malam.
Tentu saya tidak percaya sebelum melihat buktinya sendiri. Pertengahan tahun ini (sekitar bulan Maret 2013 lalu) saya ditugaskan kantor ke Solo. Setelah tugas selesai, ternyata hari masih cukup terang. Jadi, saya memutuskan untuk memuaskan rasa penasaran saya dengan mengunjungi Taman Sriwedari. Saya menumpang taksi dan sempat bercakap-cakap dengan sopir taksinya. Supir taksi itu malah menyarankan saya ke Balekambang saja karena tidak ada banyak hal yang bisa dilihat di Taman Sriwedari. Tapi saya tetap bersikeras meminta diantarkan ke taman yang sejak awal namanya sudah mencuri perhatian. Saya harus membuktikan kalau yang orang-orang katakan tentang Taman Sriwedari itu salah.
Setibanya di Taman Sriwedari, saya disambut dengan gerbang dan tulisannya yang cukup membuat saya kagum. Suara gamelan menggema dari arah dalam. Ah, meyakinkan! Semua orang yang mengatakan kalau taman Sriwedari jelek pasti salah. Saya pun melangkahkan kaki tanpa ragu dan disambut oleh sepasang patung penari Jawa yang tampak mesra. Wah, imajinasi saya tentang cerpen yang akan dibuat mengenai Taman Sriwedari pun semakin liar berkembang.
Saya mulai mendekat ke arah joglo yang tampak dipenuhi oleh kerumunan orang. Di sana ternyata sedang diadakan lomba tari tradisional berkelompok untuk anak-anak. Saat itu sekelompok anak laki-laki usia di bawah 10 tahun sedang menarikan tari perang sepertinya. Masing-masing dari mereka memegang sebuah busur. Melihat anak-anak ini menarikan kesenian tradisional sungguh membuat saya bahagia dan terharu. Mereka yang masih cilik saja sudah berbuat lebih banyak untuk melestarikan budaya daripada saya. Malu rasanya.
Kemudian saya melihat sekeliling. Sekitar joglo tampak tidak teratur dan agak kotor. Menurut saya malah terkesan kumuh. Mata saya mencari-cari hijauan rumput dan bunga-bunga bermacam warna seperti yang saya bayangkan. Sayangnya tidak ada sama sekali. Hanya pohon-pohon tua yang besar dan terkesan suram. Tanah dan rumputnya kering dan juga menipis tanda sering diinjak orang yang lalu-lalang. Warung-warung yang ada juga malah menambah kesan semrawut. Bergerak masuk lagi ke dalam, saya melihat wahana Taman Hiburan Rakyat yang sedang tutup operasionalnya. Mungkin karena sudah sore. Lagi-lagi saya kecewa.
Saya mulai bergerak makin masuk ke dalam taman, berharap menemukan sesuatu yang bisa menawarkan kekecewaan saya. Ah, pemandangannya sama. Masih terkesan kumuh dan tidak terawat. Teronggok pohon-pohon besar dan tua yang seperti kehilangan semangat hidup.
Kemudian terdengar suara musik tradisional jawa yang lebih kuat lagi menggedor-gedor gendang telinga saya. Saya pun mendekat ke sumber suara. Rupanya sekelompok remaja sedang melakukan latihan tari di depan gedung wayang orang. Ada lebih dari 15-an anak remaja yang sedang berlatih. Sayangnya saya tidak membawa kamera dan ponsel saya saat itu sedang rusak. Alhasil, kenangan tentang anak-anak remaja yang semangat berlatih tari itu hanya tersimpan dalam kepala saya.
Pedagang banyak yang mangkal di sekitar taman. Kendaraan motor juga sering berseliweran keluar-masuk lokasi. Sepertinya taman ini sering dijadikan jalur pintas jalan sehingga agak mengganggu perhatian saya yang sedang menyaksikan kegiatan latihan tari itu. Tak berapa lama, sekumpulan anak remaja itu beristirahat dan saya pun kehabisan hiburan. Karena rikuh, saya pun beranjak dari sana dan mulai bergerak lagi ke dalam. Hanya ada bangunan-bangunan yang saya sendiri tidak tahu apa fungsinya dan tidak berani mendekat, khawatir itu properti pribadi. Tidak ada bangku taman dan lahan hijau untuk istirahat sejenak, jadi saya terus saja berjalan sampai ketemu gerbang belakang yang ternganga begitu saja. Sepertinya itu pintu keluarnya. Saya celingak-celinguk dan ingin kembali lagi ke dalam, tapi urung karena di sebelah kiri saya melihat deretan penjual buku bekas. O-iya teman saya ada yang bilang kalau dia mau cari buku kuliah sering mampir ke sini. Saya pun menyusuri deretan penjual buku itu dan akhirnya berbelok ke kiri kembali ke pintu gerbang masuk Taman Sriwedari.
Hmm, terus terang saya kecewa dengan apa yang saya temui di Taman Sriwedari. Meskipun namanya taman, tetapi isinya kurang tumbuhan hijau dan bunga-bungaan. Tidak ada bangku taman yang nyaman untuk melepas penat dan sejenak istirahat untuk mencuri sedikit oksigen dari taman yang seharusnya menjadi paru-paru kota. Untungnya di dalam ada kegiatan seni budaya yang tampaknya masih lumayan hidup, tapi karena tata ruang taman yang terkesan kumuh dan tidak terurus membuat nilai sejarah dan budaya yang dimiliki Taman Sriwedari menjadi kurang berkilau.
Ini sangat disayangkan. Pakubuwono X tentu tidak mengharapkan taman surga gagasannya menjadi tempat terbengkalai seperti ini. Taman ini pernah menjadi pilihan wisata utama saat pertama kali dibuka untuk umum, harusnya sekarang juga bisa. Gosipnya kondisi Taman Sriwedari yang tidak jelas ini karena terjadi sengketa kepemilikan lahan taman antara pemerintah daerah dengan pihak kesultanan Surakarta. Entah benar, entah tidak. Yang pasti surga terbengkalai, Taman Sriwedari ini membutuhkan penanganan serius jika mau menjadi objek wisata sejarah dan budaya yang menarik untuk dikunjungi.
Ah, perihal tulisan untuk cerpen dalam omnibook itu, dengan berat hati saya memutuskan berganti subjek ke taman lain karena taman yang diminta teman-teman kelompok haruslah taman paru-paru kota dengan hijauan rumput di mana-mana. Tapi saya sedang menuliskan sebuah cerpen lepas tentang Sriwedari dan sepasang patung penari yang ada di depan joglo dekat gerbang masuknya. Semoga bisa cepat rampung.
Jujur, jika ada kesempatan berkunjung ke Solo lagi, saya pasti akan mendatangi Sriwedari lagi. Semoga bila saat itu tiba, Taman Sriwedari sudah kembali menjadi pelataran surga seperti yang selama ini saya bayangkan. Aamiin.