Waktu itu,
kira-kira tiga belas tahun lalu, saya masih mahasiswa baru di Fakultas Farmasi
Universitas Pancasila. Untuk pertama kalinya saya tinggal jauh dari orangtua
karena harus kos di dekat kampus. Praktis saya harus mengurus semua keperluan
kuliah saya sendiri. Mulai dari perlengkapan kuliah, buku-buku, dan bahan-bahan
praktikum. Tidak mengandalkan ayah lagi untuk mengantarkan mencari ini atau itu.
Lagipula malu rasanya, sudah dewasa masa masih merepotkan orangtua?
Salah satu
praktikum paling menakutkan di semester pertama di kampus saya adalah praktikum
Anatomi Tumbuhan. Mungkin sekarang praktikum itu sudah tidak ada lagi. Bukan soal
sulit menghapalkan materi praktikumnya (waktu itu masih muda jadi masih kuat
menghapal, kalau sekarang sudah tidak perlu ditanya lagi karena di luar kepala
semua alias mudah lupa), tetapi yang paling sulit adalah mencari bahan tanaman
yang harus dibawa saat praktikum! Mana dosen pembimbing praktikumnya terkenal killer dan taksegan-segan mengeluarkan
jurus “omelan tanpa bayangan”-nya kalau ada mahasiswa yang tidak bawa bahan
praktikum!
Kalau di
awal-awal praktikum, tanaman yang dibutuhkan masihlah tergolong mudah didapat,
hanya sebatas belimbing wuluh atau kembang kertas dan sejenisnya, tapi lama
kelamaan, tanaman yang diperlukan untuk praktikum semakin aneh-aneh namanya.
Mendengar namanya saja baru pertama kali, di mana saya harus mencarinya? Terus
terang sekarang pun saya sudah lupa apa nama-nama tanaman aneh bin ajaib itu.
Setelah panik bertanya-tanya
pada warga sekitar kos, saya mendapat informasi kalau banyak pedagang tanaman
hias di Jalan Margonda. Segera saya meluncur ke lokasi dengan naik mikrolet T19. Margonda dulu, bukan Margonda yang
sekarang. Dulu belum ada dua mall besar yang hanya dipisahkan jembatan
penyebrangan itu (tidak perlu sebut merek). Lokasi salah satu mall itu masih
berupa lahan yang dipenuhi tanaman para pedagang tanaman hias. Asri sekali! Dan
benar saja saya cukup sebutkan sekali nama tanaman-tanaman aneh yang diminta
dosen saya, semuanya ternyata tersedia di sana!
Tidak hanya
sekali saya berkunjung ke sana, tapi tiap ada tanaman yang sulit didapat di
pekarangan rumah tetangga kosan, pasti saya meluncur ke Margonda.
Saya juga sering kebanjiran order dari teman-teman yang malas mencari tanaman
untuk praktikum, lumayan untuk tambahan jajan saat itu. Jelas, keberadaan para pedagang
tanaman di Jalan Margonda itu sangat membantu kami, para mahasiswa praktikum,
dan juga membantu keuangan saya sebagai anak kosan. Saya sangat berterima kasih untuk itu.
Tapi sayang, pedagang
tanaman hias Jalan Margonda sudah tidak ada lagi. Tempat mereka telah berganti
dengan mall besar dan restoran atau café di sekitarnya. Para pedagang tersingkir
ke daerah Jalan Juanda yang baru diresmikan pada tahun 2003. Akibatnya Margonda
tidak seasri dulu lagi tanpa kehadiran tanaman-tanaman hias mereka.
Kita berdoa semoga saja pertumbuhan Depok yang
memang fantastis itu tidak membuat mereka, para pedagang tanaman hias, kembali
tersingkir ke pedalaman dan membiarkan Depok tenggelam dalam asap knalpot
kendaraan yang terjebak di kemacetan jalan.