Miris. Hanya
satu kata itu yang bisa menggambarkan perasaan saya saat mengunjungi Museum
Gula Gondang Baru di awal tahun 2013 lalu. Di masa liburan awal tahun seperti
itu ketika Jogjakarta kebanjiran wisatawan asing dan domestik, Museum Gondang
Baru seperti kurang peminat untuk menjadikannya sebagai target tempat liburan, malah
lokasi taman hiburan Gondang Winangoen yang berada tepat di sebelah museumlah
yang cukup yang ramai dikunjungi wisatawan. Padahal mungkin keberadaan green park itu sebenarnya adalah sebagai
bagian dari agrowisata Gondang Winangoen yang diharapkan dapat menambah jumlah kunjungan
ke museum tapi kenyataannya berbeda. Museum dan green park seakan-akan seperti tidak terintegrasi dengan baik,
malah seperti dua dunia yang jauh berbeda, green
park yang penuh keceriaan dan museum gula yang merana dilumuti kesepian.
Sebenarnya
pilihan para pengunjung itu bisa dimaklumi. Museum Gula Gondang Baru itu memang
terlihat sangat sepi, bahkan terkesan angker karena pencahayaannya yang kurang.
Ditambah lagi, tidak ada satu pun petugas di dalam museum yang menjadi pemandu
atau setidaknya berjaga di dalam gedung bila ada pengunjung yang hendak
mengajukan pertanyaan. Saya sebagai pengunjung kala itu tidak mendapatkan
buklet museum yang bisa digunakan sebagai pedoman penjelajahan museum. Peralatan
di dalam museum juga tidak disertai dengan keterangan yang bisa menjadi
informasi bagi saya sebagai seorang pengunjung yang awam sama sekali tentang
sejarah gula Indonesia. Alhasil, kunjungan saya waktu itu hanya diisi dengan
memotret peralatan dan merekam kesunyian museum lewat kamera DSLR yang saya
bawa. Padahal, katanya Museum Gula Gondang Baru adalah satu-satunya museum
sejarah gula yang ada di Indonesia dan bahkan Asia Tenggara yang dahulunya
dibangun dengan tujuan sebagai tempat penelitian gula juga, tetapi sayangnya,
pengalaman kunjungan saya tidak mencerminkan itu semua.
Hal ini
membuat saya bertanya-tanya, bisakah bila kelak di sekitar pabrik gula kuno lainnya
dapat dibangun museum gula yang lebih menarik bagi wisatawan dan bahkan menjadi
pilihan obyek wisata utama? Bukankah sudah jamak kalau museum mana pun di
Indonesia selalu sepi dari pengunjung? Bila dibuat museum gula lainnya, apa
jangan-jangan hanya akan menambah daftar museum sepi pengunjung lainnya? Bisakah
museum sejarah gula ramai dipadati pengunjung yang bahkan rela antri mengular
untuk memasukinya sebagaimana yang terjadi di Museum Natural History di Amerika
Serikat ataupun Museum Louvre di Perancis sana?
Penulis
percaya bahwa masih ada sebagian masyarakat Indonesia yang menghargai
sejarahnya dan museum masih memiliki daya tarik tertentu untuk dikunjungi. Tulisan
ini dibuat untuk mencoba untuk mengurai dan memberikan saran pengembangan
museum sejarah gula untuk menjawab pertanyaan serta keraguan yang muncul tadi.
Potensi Bisnis Museum Gula
Tidak bisa
dipungkiri, gula di Indonesia memiliki akar sejarah yang sangat panjang,
dimulai sejak abad 19 ketika masa penjajahan Belanda sampai sekarang, meskipun jauh
sebelum masa itu bangsa Indonesia sudah mengenal adanya produk dan cara
produksi air nira serta sari tebu. Pada masa penjajahan, gula dan produksinya
dikelola oleh pihak Belanda dan bahkan menjadi sektor industri andalan yang
menjadikan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai negara pengekspor gula terbesar
kedua setelah Kuba. Sebenarnya sejarah panjang pabrik gula sangat menarik untuk
ditelusuri karena secara tidak langsung menggambarkan sejarah panjang
penjajahan Belanda di Indonesia pula dan museum adalah bentuk rekam sejarah
yang tepat untuk riwayat gula di Indonesia.
Sayangnya
tidak banyak pihak yang melihat museum sebagai komoditi yang menarik untuk
dijual. Seringkali meskipun harga tiket masuk museum dipasang serendah mungkin dengan
harapan dapat menarik lebih banyak pengunjung, museum tetap jarang dilirik
sebagai lokasi wisata yang menghibur.
Apa pasal?
Penulis mencoba menganalisis beberapa alasan utama mengapa museum cenderung
sepi pengunjung, yaitu pertama, bangunan
fisik dan desain museum yang cenderung kaku serta tata letak koleksi museum tidak
banyak perubahan tiap tahunnya. Akibatnya banyak orang yang mengunjungi museum
hanya sekali dalam seumur hidup karena dapat dipastikan tahun depan tata letak koleksi museum,
misalnya foto sejarah, masih akan berada persis di titik yang sama. Membosankan.
Museum kebanyakan hanya menjadi seperti gudang penyimpanan benda bersejarah,
bau apek, dan akhirnya pengunjung kurang betah untuk berlama-lama di dalamnya..
Kedua, penyajian koleksi yang kurang
menarik. Museum cenderung membosankan dalam penyajian koleksinya karena tidak
adanya hubungan interaktif antara koleksi dengan pengunjung yang bisa
melibatkan pengunjung secara emosional. Ini berarti pengunjung tidak
diperbolehkan untuk menyentuh sama sekali koleksi yang ada di dalam museum.
Bahkan ada beberapa museum yang tidak memperbolehkan pengunjung untuk mengambil
gambar dengan kamera. Untuk beberapa koleksi yang rentan terhadap kerusakan,
aturan “tidak boleh sentuh” seperti itu bisa saja diterapkan, tetapi ada
koleksi lain yang akan menjadi lebih baik kalau pengunjung diperbolehkan untuk
menyentuh atau bahkan melakukan simulasi dengan koleksi yang ada. Atau bisa
saja museum menyediakan tiruan koleksi yang bisa dipegang oleh pengunjung.
Ketiga, museum tidak banyak menawarkan hal selain
pengetahuan/informasi sejarah yang dijejalkan lewat ekshibisi koleksi kepada
pengunjung. Tidak ada konektivitas emosional antara museum dengan pengunjung. Padahal,
museum bisa dengan luwes memanfaatkan teknologi dalam memberikan pengetahuan atau
hiburan lain yang berkaitan dengan sejarah kepada pengunjung. Kebanyakan museum
juga jarang mengadakan kegiatan edukatif yang rutin diadakan untuk menggenjot
jumlah kunjungan wisatawan.
Keempat, masyarakat Indonesia yang memang
pada dasarnya malas mengunjungi museum. Sebenarnya alasan ketiga ini merupakan
manifestasi dari alasan pertama dan kedua. Kita bisa saja berargumen bahwa
masyarakat Indonesia memang kurang mengakrabi sejarah, tetapi kondisi seperti
itu sebenarnya bisa kita siasati dengan merancang museum yang tidak hanya
menjadi sarana edukasi tetapi juga sarana hiburan setiap orang.
Keempat faktor
tersebut membuat seolah-olah pendirian museum gula kurang potensial dari segi
bisnis. Padahal, bila kita cermati, sektor pergulaan tidak hanya menjadi
pembahasan atau kajian yang menarik dari segi sejarah saja, tetapi juga ekonomi,
kultur-budaya, sains, dan bahkan teknologi. Jadi, selain sejarah panjang
pergulaan, bisa saja kita mengintegrasikan aspek lain, seperti sains,
teknologi, budaya, dan hiburan ke dalam museum.
Satu contoh
menarik yang bisa penulis jadikan sebagai perbandingan adalah sebuah tempat
pembelajaran dan informasi budaya Amerika Serikat yang berlokasi di Jakarta yang
menurut saya sangat menarik karena memiliki konsep yang modern dan mutakhir. Tempat
itu bernama @America yang berlokasi di sebuah Mall bernama Pasific Place.
Bayangkan, pusat kebudayaan di dalam sebuah mall!
Bisakah ramai pengunjung? Apalagi kalau bicara mall maka yang akan melintas di benak kita pertama kali adalah belanja,
belanja, dan belanja! Bukan untuk mencari kegiatan yang bernilai edukatif. Ternyata
skeptisme saya tidak terbukti, @America selalu penuh dikunjungi bahkan oleh para
siswa sekolah-sekolah yang berasal dari luar kota. Konsep yang dikemas di
@America membuat kegiatan belajar budaya di sana sama sekali tidak terasa
membosankan. Pengunjung dibebaskan untuk dapat memilih sendiri akses informasi
yang diinginkan dengan menggunakan peralatan multimedia layar sentuh yang
tersebar merata di seluruh lokasi @America. Lokasi itu juga dilengkapi dengan
auditorium yang digunakan untuk pertunjukan, pelatihan, seminar, lokakarya, dan
bahkan demo memasak yang tidak harus bertemakan Amerika saja. Kegiatan @America
selalu penuh dan tidak ada hari liburnya. Semuanya fasilitas dan kegiatan di
sana bisa diakses tanpa harus mengeluarkan biaya sama sekali alias gratis.
Satu hal yang
bisa kita pelajari di sini. Meskipun terdengar membosankan, terutama untuk anak
muda, ternyata tema budaya dan sejarah bisa menarik pengunjung untuk datang
juga asal kemasan lokasi dan penawaran konten wahana sejarah itu dibuat
semenarik mungkin. karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang selalu
ingin tahu dan haus sekali pengetahuan, termasuk pengetahuan sejarah.
PTPN X
memiliki aset berupa pabrik gula kuno yang bisa dijadikan bagian dari wahana
wisata gula, seperti Watoetoelis, Toelangan, dan Kremboong yang berada di Sidoarjo; Gempolkrep di Mojokerto; Djombang Baru dan Tjoekir di Jombang; Lestari di Nganjuk; Meritjan, Pesantren Baru, dan Ngadiredjo di Kediri; dan Modjopanggoong
Tulungagung. Kesemuanya berpotensi besar untuk dijadikan wahana taman wisata sejarah
gula unggulan. Bila PTPN X bisa membangun sebuah wahana wisata gula yang
merespons keinginan dan kebutuhan para calon pengunjung, tentunya pendirian
wahana wisata gula ini akan bernilai ekonomis yang sangat tinggi dan menjadi
alternatif pendapatan PTPN X kelak. Wahana wisata sejarah yang saya maksudkan
di sini adalah integrasi antara bangunan pabrik gula kuno, museum, dan lahan
sekitar pabrik.
Analisis potensi
bisnis wahana wisata tersebut penulis lakukan berdasarkan dua alasan kuat,
yaitu:
Pertama, jumlah museum gula di dunia hanya
sedikit. Bila dibangun sebuah museum yang memuat segala hal tentang gula, dari
mulai sejarah, teknologi pengolahan, pemanfaatan, ekonomi, penelitian, dan
budaya yang terkait dengan gula atau tebu, bisa dipastikan pengunjung yang bertandang
tidak hanya wisatawan domestik, tetapi juga wisatawan mancanegara.
Kedua, tidak banyak museum di Indonesia
yang menarik dari segi koleksi, lokasi, maupun kegiatan yang ditawarkan di
dalamnya sehingga dapat menjadi alternatif kunjungan museum ang sangat menarik,
khususnya bagi anak-anak sekolah tingkat dasar, menengah, dan bahkan perguruan
tinggi jurusan tertentu (sejarah, budaya, kimia, dan teknologi industri).
Selain itu, tidak banyak juga museum
di Indonesia yang mengintegrasikan dengan sangat baik antara museum dengan
hiburan dan teknologi tingkat tinggi.
Kedua alasan ini dapat menjadi tolok
ukur kesimpulan penulis bahwa pendirian sebuah wahana wisata gula yang
integratif akan sangat menguntungkan dari sisi ekonomi karena perkiraan jumlah
pengunjung yang banyak dan dapat telihat “seksi” di mata para investor.
Secara ringkas,
analisis potensi museum sejarah gula yang akan dibangun oleh PTPN X dapat
dilihat dalam bagan SWOT berikut ini:
Strenght
Memiliki aset berupa pabrik gula kuno yang bernilai
historis, lahan tebu di sekitar pabrik;
Profesional dalam pengolahan gula;
Memiliki hubungan baik dengan para stakeholder pergulaan yang dapat
menunjang pengadaan koleksi museum dan kegiatan edukasi dalam museum.
|
Weakness
Belum pernah membuat dan mengelola museum gula
sebelumnya;
Personil yang belum terlatih;
Manajemen yang belum profesional.
|
Opportunities
Tidak banyak museum gula yang berdiri di Indonesia,
bahkan di dunia;
Tidak banyak museum di Indonesia yang menarik bagi
pengunjung.
|
Threat
Dana;
Selera pengunjung yang tidak bisa diprediksikan;
Ada pabrik gula lain di Indonesia yang bisa menjadi
rujukan wisata sejarah gula lainnya.
|
Weakness dan threat yang ada dapat diatasi dengan cara-cara berikut ini:
pelatihan rutin personil tim pengelola wahana wisata sejarah gula di bidang
teknis maupun manajemen; membuka peluang kerjasama dengan pihak lain dan
disertai dengan proposal pengembangan museum yang menarik bagi para investor;
studi banding dengan museum gula di dalam maupun luar negeri atau museum
lainnya yang terbilang sukses dalam menarik jumlah pengunjung; membuka
komunikasi dua arah antara pengunjung dengan pengelola wahana untuk keperluan pengembangan
wahana wisata agar selalu menarik dan segar.
Pengembangan Wahana Wisata Sejarah Gula
Dalam
mengembangkan museum gula seperti yang diharapkan, ada dua hal pokok yang perlu
dirancang sematang mungkin, yaitu konten dan konteks. Konten adalah segala apa yang kita tawarkan dari wisata ini,
sedangkan konteks adalah bagaimana cara
kita menawarkannya kepada konsumen. Dalam bagian ini, kita akan lebih terfokus
membahas konten, sedangkan mengenai konteks akan dibahas lebih lanjut di bagian
perencanaan pemasaran.
Apa
konten museum? Tentu yang dimaksud dengan konten sebuah museum tidak terlepas
dari lima hal utama: visi-misi museum; sdm/personil;
bangunan/gedung/lokasi; koleksi museum;
dan kegiatan-kegiatan edukatif sekaligus menghibur yang ditawarkan di
dalamnya. Bisa saja kita membuat museum dengan konten yang rata-rata,
sebagaimana museum lainnya, yaitu ekshibisi koleksi museum semata, namun
disertai dengan konteks (penawaran) yang luar biasa. Hal ini mungkin akan
berdampak pada jumlah pengunjung yang bisa jadi membludak di masa awal-awal
pembukaan museum saja, sesudahnya tidak akan banyak yang bertandang lagi. Oleh
karena itu, selain konteks yang hebat, konten museum harus dibuat sedahsyat
mungkin.
Konten Pertama: Visi dan Misi Wahana Wisata
Sejarah Gula
Museum harus
tegas mendefinisikan apa-apa yang menjadi visinya karena visi adalah alat bantu
yang dapat menjadi semacam cetak biru pengembangan wahana wisata selanjutnya. Visi
menjadi semacam identitas wahana wisata sejarah gula dan identitas itu harus
sedemikian kuatnya sehingga para konsumen pun mengenali wahana wisata hanya
dari identitas tersebut. Sebagai contoh, Hard Rock Café terkenal sebagai sebuah
café yang Rock ‘n Roll, sebegitu kuatnya identitas itu sampai kita tidak akan
bisa membayangkan musik dangdut dapat masuk café itu.
Sejarah gula tidak
bisa kita lepaskan dari peran sains, kultur-budaya, dan teknologi. Bahkan,
bidang ekonomi pun termasuk bidang yang dipengaruhinya. Keempat aspek tersebut
harus dipertimbangkan dalam penetapan visi museum. Misalnya, PTPN X dapat
membuat museum dengan visi besar menjadi pusat pembelajaran sains, budaya, dan
penggerak ekonomi berbasis industri gula yang terbesar di ASEAN. Dengan
menetapkan visi terlebih dahulu, museum akan semakin mudah untuk merancang misi
(tindakan, layanan yang ditawarkan, perencanaan kegiatan, dan sebagainya).
Konten Kedua: Sumber Daya Manusia/Personil
Personil adalah aspek yang paling
sering terlupakan dalam pengembangan sebuah wahana wisata seperti museum. Personil
haruslah dikelola di bawah manajemen yang baik. Pengelola museum sekelas Louvre
pun mengamini bahwa optimalisasi dan peningkatan profesionalisme manajemen sebuah
museum sangat penting untuk dapat bersaing dengan obyek tujuan wisata lainnya (makalah
ilmiah untuk AOM 2010 Conference yang
berjudul Revisiting museum
strategy: Mona Lisa’s new smile).
Wahana wisata sejarh gula
ini haruslah memiliki kejelasan struktur organisasi dan deskripsi tugas
masing-masing personil. Selain itu, pembentukan divisi-divisi yang diperlukan untuk
menunjang operasional wahana wisata juga harus dipertimbangkan. Tentu selain
divisi pemasaran, harus ada pula divisi HRD yang mengelola masalah karyawan;
divisi keuangan; divisi humas; divisi ekshibisi pameran; dan divisi lainnya
yang kira-kira diperlukan.
Di banyak museum luar negeri
juga ada divisi R&D pameran yang mengurusi masalah tata-letak pameran
koleksi yang dimiliki museum untuk menjaga agar museum selalu terlihat “segar”
dari segi penampilannya.
Masing-masing divisi harus
mendapatkan pengembangan keterampilan yang rutin diadakan, terutama sekali
untuk divisi pameran yang didominasi oleh para pemandu museum karena merekalah
yang nantinya akan berhubungan langsung dengan konsumen (pengunjung). Pemandu
museum (termasuk resepsionis) haruslah memenuhi kriteria tertentu, seperti
mampu berbicara dalam bilingual, ramah, sigap dalam membantu pengunjung, memiliki
pengetahuan produk dan layanan yang baik, kemampuan komunikasi dan mendengarkan
yang baik, serta penampilan yang menarik. Bila perlu, para pemandu harus
mengenakan seragam resmi wahana wisata agar kesan profesional semakin melekat
pada diri mereka
Bila museum kesulitan, terutama
dalam hal dana, untuk memperbanyak personil, bisa diadakan sebuah sistem
perekrutan relawan yang bersedia menjadi pemandu museum dari kalangan pelajar,
mahasiswa, ataupun orang umum terutama kalangan pensiunan. Sistem
kerelawanannya dapat sama sekali tidak dibayar, tetapi dengan beberapa
ketentuan, misalnya mendapatkan sertifikat partisipasi organisasi
ekstrakulikuler untuk para mahasiswa, mendapatkan pelatihan komunikasi/public speaking dari museum secara
gratis, akses gratis ke seluruh
wahana wisata sejarah, dan lain-lain. Atau bisa saja menggunakan sistem fee dengan berbagai ketentuan yang
disepakati sebelumnya (dalam segi waktu menjadi relawan, jumlah bayaran, dan
lain-lain). Sebagai contoh, Museum gula Maui di Hawaii juga melakukan perekrutan
relawan untuk dijadikan pemandu wisata dalam jelajah koleksi museum,
resepsionis, dan bahkan penjaga toko suvenirnya.
Konten Ketiga: Bangunan/Gedung/Lokasi
Untuk
memperkuat kesan kehistorisan wahana wisata gula, bangunan yang digunakan
sebagai lokasi wahana bisa digunakan pabrik gula yang memang sudah lama
berproduksi sejak zaman penjajahan serta lahan sekitarnya. Sebelumnya sudah
disebutkan kalau PTPN X memiliki banyak pilihan pabrik gula kuno yang bisa
diintegrasikan ke dalam wahana wisata sejarah gula.
Nilai
historis dari pabrik-pabrik gula kuno tersebut dapat menjadi daya tarik
tersendiri bagi wisatawan dan bahkan menarik untuk dikaji oleh para ahli
arkeolog industri dari dalam maupun luar negeri. Hanya yang perlu diingat,
bangunan pabrik gula kuno itu harus menjadi satu kesatuan yang utuh dengan
bangunan wahana lain. Rancang bangun museum tempat pameran koleksi haruslah
didesain secara matang dan bernilai seni tinggi, tidak boleh asal-asalan. Para
seniman dan desainer interior dapat dilibatkan dalam proses kreasi gedung dan
hiasan sekitarnya. Bahkan museum Louvre pun memiliki arsitek khusus yang
membuat piramida kaca sebagai bagian dari museum yang sangat menarik dan
memesona tanpa memisahkan diri dari kesatuan konsep dengan bangunan utama museum
itu sendiri. Museum gula pun bisa membuat sebuah bangunan yang menjadi icon identitas dari museum sehingga
menarik pengunjung untuk tidak hanya menikmati sajian koleksi bersejarah di
dalamnya tetapi juga menikmati keindahan bangunan dan seni rupa yang
melengkapinya.
Selain itu,
dengan tidak bermaksud berpikir dangkal, tentunya kita akan merasa lebih nyaman
memandang seseorang yang berwajah cantik rupawan, rapi, wangi, dan ceria ketimbang
seseorang yang sudah kurang enak dilihat, berantakan, bau, dan muram, bukan?
Kita adalah makhluk visual, cenderung menyukai memandang sesuatu yang memang
enak dilihat. Begitu juga dengan museum. Tentu kita akan lebih menyukai berada
di dalam gedung museum yang memiliki desain interior mumpuni, wangi, pencahayaan
cukup, dan bahkan disertai ruang pamer tersendiri untuk tiap sentra yang
berbeda tema. Cat bangunan jangan membosankan dengan didominasi warna putih.
Akan lebih menarik bila tiap ruang pamer memiliki warna cat yang berbeda. tiap
koleksi harus disertai dengan keterangan yang lengkap dan tersedia dalam dua
bahasa. Papan penunjuk informasi di dalam museum harus dibuat semenarik dan
sejelas mungkin. Bahkan akan lebih nyaman lagi bila pengunjung dimanjakan dengan
musik lembut yang diputar atau dimainkan secara live hingga terdengar di seluruh bangunan museum.
Khusus mengenai keberadaan ruang
pamer koleksi museum, penulis merasa keberadaannya sangat penting dan kalau
perlu dibagi menjadi beberapa ruang pamer yang berbeda. Ruang pamer dibuat
sedemikian rupa sehingga untuk memasuki ruang pamer, pengunjung tidak perlu masuk
berurutan dan mengikuti satu alur saja, misalnya dari pintu masuk lalu ke ruang
sejarah gula, lalu ke ruang teknologi pengolahan gula, dan seterusnya sampai ke
pintu keluar. Akan lebih baik bila pengunjung diberikan keleluasaan untuk
memilih ruang pamer mana dulu yang ingin dikunjungi, tanpa harus berurutan. Pembagian
ruang pameran yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut:
1.
Sentra
Sejarah
Sentra/ruang pamer ini berisi koleksi
alat-alat, foto, dan alat bantu multimedia (komputer layar sentuh yang memuat
informasi mengenai sejarah gula). Sentra ini memuat segala hal yang berkaitan
dengan sejarah gula dunia, sejarah gula Indonesia, dan sejarah arkeologi
industri gula (bangunan pabrik gula kuno di Indonesia). Akan menarik lagi bila
di dalam Sentra Sejarah ini terdapat patung (semacam diorama, tetapi dalam
skala sebenarnya) yang menggambarkan sejarah gula dan pengunjung dibebaskan
untuk mengambil gambar bersama patung tersebut. Sebagai contoh, dapat dibuat
patung petani zaman penjajahan yang sedang mengolah tanah yang akan ditanami
tebu dan pengunjung dapat menyentuh patung itu secara langsung (tidak dibatasi
dengan kaca, seperti halnya museum lilin Madam Tussauds).
2.
Sentra Budaya
Sentra ini dibagi menjadi dua bagian,
yaitu:
a. Indoor
Sentra ini
berisi foto, alat, dan multimedia yang menggambarkan kebudayaan Indonesia dan
dunia yang berkaitan dengan gula, misalnya gambar dan alat kegiatan Manten Tebu
yang biasa dilakukan ketika musim giling tebu tiba.
b. Outdoor
Pihak museum
dapat menjadi penyelenggara festival Manten tebu yang dijadikan agenda rutin museum dan diadakan tiap awal musim
giling tebu. Festival itu dilakukan dengan menggelar kirab budaya dan pasar
rakyat juga sehingga dapat melibatkan pemerintah daerah dan warga sekitar untuk
ikut berpartisipasi. Kegiatan ini tentu akan lebih menarik lagi terutama bagi
turis mancanegara. Atau di bulan-bulan lainnya, untuk menarik minat wisatawan
juga museum dapat menggelar pertunjukan sendratari atau drama yang berkaitan
dengan sejarah gula di masa penjajahan.
3.
Sentra Sains
Sentra ini membahas segala hal tentang
tebu (nama biologi, jenis, penyakit dan hama yang menyerangnya, kegunaannya,
dll); gula (senyawa kimia yang ada di dalamnya, cara pemeriksaan kemurniannya,
kegunaannya, dll); dan teknologi pembuatan gula dari masa ke masa. Sentra ini
menonjolkan sisi ilmiah dari gula dan tebu.
Sentra sains
dapat dirancang dengan mengombinasikan antara gambar/foto, pameran
benda/koleksinya secara langsung, diorama laboratorium, alat multimedia (memuat
informasi ilmiah tentang tebu, gula, dan cara pengolahannya), dan juga alat
simulasi multimedia untuk membuat gula yang dirancang oleh museum dengan
bantuan ahli pembuat game atau ahli digital. Jadi, di dalam sentra ini terdapat
wahana serupa game yang bisa
dimainkan oleh pengunjung anak, namun game
yang disajikan berkaitan dengan gula dan tebu, misalnya game membasmi hama
tebu.
4.
Sentra Bisnis
Sentra ini berupa coffee lounge atau café dan pusat penjualan suvenir museum. Selain kaos, kalung, atau
suvenir biasa lainnya, suvenir yang ditawarkan di sini dapat berupa buku
sejarah gula yang khusus dicetak sendiri oleh museum dan eksklusif karena tidak
dijual di tempat lain. Sentra ini juga dilengkapi dengan perpustakaan mini
untuk teman minum kopi para pengunjung. Dinding sentra bisnis dapat dihiasi
dengan data-data tentang komoditas gula yang ditata secara menarik.
5.
Sentra Hiburan
dan Agrowisata
Sentra ini berada di dalam dan luar
museum (masih berada dalam kawasan wahana wisata gula). Sentra yang berada di
dalam museum adalah berupa panggung hiburan yang diisi dengan live music tiap waktu tertentu. Museum
dapat bekerja sama dengan seniman/musisi di daerah tempat museum itu berada
atau melibatkan kelompok ekstrakurikuler musik para pelajar dan mahasiswa yang
berada di sekitar museum itu. Musik yang disajikan tidak hanya tradisional,
tetapi bisa juga jenis musik populer dan Jazz. Tentunya beberapa perlengkapan
musik dasar disediakan oleh pihak museum. Selain itu, dibuat juga ruangan
auditorium yang bisa menayangkan film tentang sejarah gula, teknologi pembuatan
gula, dan sebagainya. Auditorium itu juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
seminar, diskusi, dan lokakarya yang bisa disewakan kepada pihak luar yang
berminat ataupun untuk kegiatan seminar, diskusi, dan lokarya yang diadakan
sendiri oleh museum.
Untuk
kegiatan diluar museum dapat memanfaatkan kereta kuno yang dahulu digunakan
untuk mengangkut tebu ke pabrik pengolahan. Kereta itu dapat digunakan untuk
mengelilingi lokasi wahana wisata dan di waktu tertentu (mungkin bersamaan
dengan festival Manten Tebu), pengunjung bisa menyewa kostum zaman dahulu
(kostum petani tebu, kostum orang Belanda pemilik ladang dan pabrik tebu)
sambil berfoto mengelilingi wahana dengan mengenakan kostum itu.
Untuk melengkapi wahana
edukasi, museum dapat membuat lahan tebu simulasi. Pada masa tanam tebu, museum
dapat menggelar agrowisata untuk anak dan remaja di mana mereka berpartisipasi
langsung dengan petani tebu untuk menanam tebu bersama sebagai ajang
pembelajaran mereka mengenai tanaman ini. Atau mengadakan tur keliling pabrik
yang berada di dalam wahana wisata gula ini.
Konten Keempat: Koleksi Museum
Koleksi
museum yang berada di dalam masing-masing sentra adalah alat-alat atau barang
yang dimiliki oleh museum sendiri karena sentra itu bersifat tetap. Agar
koleksi tidak membosankan, di sekitar sentra yang menjadi ruang pamer tetap,
diletakkan koleksi lainnya yang bisa diubah tata letaknya tiap periode
tertentu. Selain itu, museum dapat mengadakan kerjasama dengan museum gula lain
di dunia, misalnya Museum gula di Jerman dan Maui, untuk saling bertukar pinjam
koleksi masing-masing agar dapat dipamerkan di sini.
Konten Kelima: Kegiatan Museum
Pengunjung biasanya
akan mendatangi museum pada waktu tertentu saja. Oleh karena itu, museum harus
secara proaktif menggelar even-even lain yang dapat menarik pengunjung setiap
saat, meskipun bukan di masa liburan sekolah. Misalnya, museum dapat menggelar
forum diskusi sejarah secara rutin yang diampu oleh relawan sejarawan ternama
atau bekerja sama dengan fakultas sejarah/sosial-budaya universitas sekitar
museum menggelar kuliah umum di dalam auditorium museum.
Kegiatan
edukasi lain, seperti lokakarya pembuatan permen asam-gula; agro wisata tanam
tebu, tanaman tumpang sari lainnya; pelatihan pembuatan pupuk organik;
pelatihan entrepreneur tanaman tebu,
dan lain-lain dapat digelar secara rutin pula oleh pihak museum dan tentunya
kegiatan ini akan menambah pemasukan tersendiri bagi museum.
Bentuk Pemasaran yang Dapat Dilakukan
Pemasaran museum tidak bisa lepas dari konteks,
yaitu bagaimana cara menawarkan konten yang sudah dirancang sebelumnya kepada
para calon konsumen. Bila konten terkait dengan sisi rasional pelanggan,
konteks terkait dengan emosi pelanggan, yaitu seberapa jauh penawaran konten
yang kita miliki tadi menyentuh ranah emosi mereka. Penulis akan coba
menganalisis dan memberikan contoh model pemasaran yang tepat untuk wahana
wisata gula dengan menggunakan 7P
marketing mix.
Product
Produk yang dijual adalah wahana wisata gula yang
tidak hanya berupa museum saja, tetapi menjadi satu kesatuan utuh dengan pabrik
gula, dan lahan tebu yang berada di sekitar. Produk yang dijual tadi adalah
konten yang sudah kita kembangkan di bagian sebelumnya. Untuk menambah keunikan
konten, museum dapat dirancang menjadi bangunan yang ramah lingkungan, desain
pencahayaannya yang hemat energi (tidak memerlukan pencahayaan dengan lampu
listrik), dan ramah terhadap para difabel. Buku panduan museum dibuat versi
khusus difabel. Hal-hal unik seperti itu akan menjadi daya tarik tersendiri
bagi para calon pengunjung.
Place
Lokasi yang dipilih di antara beberapa pabrik
gula kuno yang disebutkan sebelumnya haruslah dipilih yang paling mudah
aksesnya dan dapat membuat ekonomi daerah sekitar wahana wisata terdorong maju.
Karena bila kelak wahana ini ramai pengunjung, bukan tidak mungkin akan ramai
pula dengan penginapan dan penjualan kuliner daerah. Untuk kenyamanan
pengunjung, lokasi parkir harus luas dan dilengkapi dengan kantin di luar
wahana wisata dan masjid yang bersih dan terawat untuk fasilitas pengunjung.
Price
Kebijakan harga yang dilakukan haruslah
diperhitungkan masak-masak. Perlu juga dibuat diferensiasi harga untuk anak,
remaja-dewasa, manula, dan para difabel juga. bisa dibuat kebijakan harga
antara pengunjung personal, kelompok, dan diskon untuk pembelian tiket sejumlah
tertentu atau di bulan-bulan tertentu. Konten yang ditawarkan dapat ditawarkan
berupa paket dengan harga bervariasi. Misalnya, dibuat paket edukasi agro yang
memungkinkan pengunjung mendapatkan tur ke museum sentra sains dan wisata agro
penanaman tebu atau paket entrepreneur tebu yang memberikan tur ke sentra
sejarah, sains, dan keliling pabrik gula. Diferensiasi harga ini membuat
pelanggan merasa mendapatkan pelayanan dengan sentuhan personal dari museum
karena merasa diberikan “kuasa” untuk memilih paket mereka diinginkan.
Promotion
Promosi yang dilakukan selain cara tradisional,
seperti brosur dan leaflet yang disebar ke agen-agen wisata dan pameran
pariwisata di dalam dan luar negeri, serta iklan di berbagai media cetak dan
elektronik, dapat juga menggunakan cara mutakhir dengan memasang iklan di website travel dalam dan luar negeri
serta mensponsori kegiatan yang berkaitan dengan kebudayaan atau bahkan mensponsori
film yang bertemakan sejarah. cara terakhir ini cukup progresif dan unik karena
saat ini film sendiri merupakan media promosi ampuh yang mulai dilirik banyak
instansi. Hal ini terjadi karena ternyata dampak yang diakibatkan oleh sebuah
tontonan jauh lebih besar daripada tulisan. Lihat saja bagaimana pemerintah
daerah Sumatera Selatan berupaya mengenalkan budaya daerahnya lewat film
kolosal, Gending Sriwijaya.
People
Selain
personil manajemen wahana wisata sejarah gula dan konsumen (para pengunjung),
ada pihak-pihak lain yang secara langsung atau pun tidak langsung terlibat dalam
museum serta harus diperhitungkan dalam penentuan keputusan strategi pemasaran.
Strategi pemasaran yang dipilih harus mempertimbangkan juga pemilik modal,
media, analis, dan masyarakat umum. Makin banyak orang yang diperhitungkan
ketika merencanakan pemasaran akan membuat pemasaran yang dilakukan kaya dengan
pesan dan bermakna mendalam bagi konsumen dan menjadikan konten yang kita tawarkan sebagai
pengalaman yang menyentuh emosi mereka, bukan sekedar produk semata.
Personil manajemen harus mendapatkan
pelatihan, pengawasan, dan evaluasi kinerja yang ketat agar kualitas pelayanan
yang mereka berikan kepada pelanggan terjaga profesionalitasnya. Bila petugas
professional tentunya pengunjung akan puas dan pengunjung yang puas akan
menjadi marketer museum dengan
sendirinya karena menceritakan kepuasan kunjungannya ke lingkungan terdekatnya
dan ini tanpa biaya sama sekali yang harus dikeluarkan oleh pihak museum.
Untuk menjalin hubungan baik dengan
media, museum dapat melakukan rilis pers untuk tiap kegiatan baru yang
dijadwalkan menjadi kegiatan pada tahun yang berjalan.
Seperti yang
sudah dikatakan sebelumnya, bila mengalami kesulitan dalam hal perekrutan
pegawai tetap museum, tenaga bantu dapat diperoleh melalui pembentukan
komunitas relawan museum. Para relawan ini diberikan pelatihan rutin yang dapat
membantu mengasah soft skill yang
tidak hanya bermanfaat ketika mereka menjadi relawan museum, tetapi juga untuk
kehidupannya sendiri.
Process
Proses
menjadi poin pemasaran yang juga penting karena dapat berujung pada kepuasan
pelanggan. Proses melibatkan nilai tambah yang bisa diberikan kepada pengunjung
dan dengan proses yang baik, kita dapat menjalin hubungan langka panjang serta memberikan
pengalaman interaktif kepada para pelanggan.
Perlu diingat, perusahaan yang berhasil
adalah perusahaan yang sukses membangun interaksi dengan pelanggan dan berhasil
melakukan transaksi jangka panjang dengan pelanggan. Proses di dalam marketing mix tidak hanya mencakup
tentang bagaimana mempromosikan dan memberikan nilai tambah yang sudah
diberikan wahana wisata, tetapi juga bagaimana mengedukasi dan mendukung
pelanggan dalam kegiatan yang berjalan.
Proses juga menekankan bahwa wahana wisata
telah memuaskan pelanggan melalui layanannya dan penyajian produk/koleksinya.
Untuk itu, langkah yang bisa dilakukan oleh museum adalah dengan:
1.
Membuat akun
social media, seperti Facebook dan
Twitter, dan menempatkan petugas khusus yang mengelola akun tersebut untuk
mewakili pihak wahana dalam berinteraksi dengan konsumen dan calon konsumen.
Hal ini digunakan untuk membina hubungan baik dengan konsumen lama dan sekaligus
menarik konsumen baru.
2.
Membentuk website wahana wisata sejarah gula yang
disertai dengan laman mengenai kunjungan virtual ke museum (e-museum).
Pemesanan tiket kunjungan dapat dilakukan secara daring (online). Selain itu, di dalam website
dapat dibuat forum pengunjung dan relawan yang dapat saling berinteraksi secara
daring, semacam forum KasKus.
3.
Menyiapkan
kotak kritik dan saran bagi wahana agar para pengunjung merasa dilibatkan dalam
pengembangan museum. Untuk merangsang masuknya kritik dan saran yang membangun,
museum dapat membuat sistem imbalan bagi pemberi kritik dan saran terbaik dengan
memberikan mereka tiket gratis paket museum tertentu untuk dua orang.
4.
Membentuk
klub pecinta museum yang keanggotaannya dikelola oleh museum. Anggota
mendapatkan potongan harga tiket masuk ataupun tiket kegiatan lain yang
diadakan oleh museum.
Physical
Evidence
Sebenarnya poin pemasaran ini berlaku untuk
produk yang berupa jasa. Poin ini dapat dikaitkan dengan yang contoh yang sudah
disebutkan sebelumnya, yaitu pengadaan kkotak kritik-saran museum dan bagi
kritik-saran terpilih akan diunggah ke dalam website wahana. Untuk menambah
menarik lagi, di dekat pintu keluar museum dapat dibuat sebuah dinding berlapis
plastik khusus yang bisa dicorat-coret pengunjung untuk sekedar tandatangan
atau tulisan lain sebagai bukti kalau mereka pernah mengunjungi museum gula.
Bila plastik itu sudah penuh, akan diganti dengan plastik baru dan yang lama
akan disimpan di ruang penyimpanan museum yang suatu saat (puluhan tahun
kemudian) bisa menjadi koleksi yang dipamerkan di dalam museum untuk nostalgia.
Penutup
Sejarah gula
Indonesia yang sangat panjang seharusnya bisa disajikan secara menarik karena
informasi seperti itu sangat berharga agar anak bangsa mengetahui sejarah
komoditi yang dulunya pernah menjadi andalan di Indonesia. Gambaran tentang museum
yang identik dengan suasana sepi dan mencekam harus diubah secara progresif
agar menarik kunjungan para wisatawan. Tidak hanya konten yang diperkuat dan
dibuat menarik, cara penawarannya pun harus lebih dahyat lagi agar keunggulan
dan keunikan wahana wisata sejarah gula semakin menarik untuk dikunjungi
wisatawan yang tidak hanya didominasi oleh anak sekolah yang terpaksa
mengunjungi museum karena diwajibkan pihak sekolah.
Semoga
ide-ide yang tertuang di dalam tulisan ini dapat menjadi sumbangsih penulis
bagi pengembangan museum yang tidak hanya mengandung nilai historis edukatif,
tetapi juga mampu menghibur segala kalangan. Semoga.