Merancang Wahana Wisata Sejarah Gula

By RFR - Januari 29, 2013

Miris. Hanya satu kata itu yang bisa menggambarkan perasaan saya saat mengunjungi Museum Gula Gondang Baru di awal tahun 2013 lalu. Di masa liburan awal tahun seperti itu ketika Jogjakarta kebanjiran wisatawan asing dan domestik, Museum Gondang Baru seperti kurang peminat untuk menjadikannya sebagai target tempat liburan, malah lokasi taman hiburan Gondang Winangoen yang berada tepat di sebelah museumlah yang cukup yang ramai dikunjungi wisatawan. Padahal mungkin keberadaan green park itu sebenarnya adalah sebagai bagian dari agrowisata Gondang Winangoen yang diharapkan dapat menambah jumlah kunjungan ke museum tapi kenyataannya berbeda. Museum dan green park seakan-akan seperti tidak terintegrasi dengan baik, malah seperti dua dunia yang jauh berbeda, green park yang penuh keceriaan dan museum gula yang merana dilumuti kesepian.

Sebenarnya pilihan para pengunjung itu bisa dimaklumi. Museum Gula Gondang Baru itu memang terlihat sangat sepi, bahkan terkesan angker karena pencahayaannya yang kurang. Ditambah lagi, tidak ada satu pun petugas di dalam museum yang menjadi pemandu atau setidaknya berjaga di dalam gedung bila ada pengunjung yang hendak mengajukan pertanyaan. Saya sebagai pengunjung kala itu tidak mendapatkan buklet museum yang bisa digunakan sebagai pedoman penjelajahan museum. Peralatan di dalam museum juga tidak disertai dengan keterangan yang bisa menjadi informasi bagi saya sebagai seorang pengunjung yang awam sama sekali tentang sejarah gula Indonesia. Alhasil, kunjungan saya waktu itu hanya diisi dengan memotret peralatan dan merekam kesunyian museum lewat kamera DSLR yang saya bawa. Padahal, katanya Museum Gula Gondang Baru adalah satu-satunya museum sejarah gula yang ada di Indonesia dan bahkan Asia Tenggara yang dahulunya dibangun dengan tujuan sebagai tempat penelitian gula juga, tetapi sayangnya, pengalaman kunjungan saya tidak mencerminkan itu semua.

Hal ini membuat saya bertanya-tanya, bisakah bila kelak di sekitar pabrik gula kuno lainnya dapat dibangun museum gula yang lebih menarik bagi wisatawan dan bahkan menjadi pilihan obyek wisata utama? Bukankah sudah jamak kalau museum mana pun di Indonesia selalu sepi dari pengunjung? Bila dibuat museum gula lainnya, apa jangan-jangan hanya akan menambah daftar museum sepi pengunjung lainnya? Bisakah museum sejarah gula ramai dipadati pengunjung yang bahkan rela antri mengular untuk memasukinya sebagaimana yang terjadi di Museum Natural History di Amerika Serikat ataupun Museum Louvre di Perancis sana?

Penulis percaya bahwa masih ada sebagian masyarakat Indonesia yang menghargai sejarahnya dan museum masih memiliki daya tarik tertentu untuk dikunjungi. Tulisan ini dibuat untuk mencoba untuk mengurai dan memberikan saran pengembangan museum sejarah gula untuk menjawab pertanyaan serta keraguan yang muncul tadi.


Potensi Bisnis Museum Gula

Tidak bisa dipungkiri, gula di Indonesia memiliki akar sejarah yang sangat panjang, dimulai sejak abad 19 ketika masa penjajahan Belanda sampai sekarang, meskipun jauh sebelum masa itu bangsa Indonesia sudah mengenal adanya produk dan cara produksi air nira serta sari tebu. Pada masa penjajahan, gula dan produksinya dikelola oleh pihak Belanda dan bahkan menjadi sektor industri andalan yang menjadikan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai negara pengekspor gula terbesar kedua setelah Kuba. Sebenarnya sejarah panjang pabrik gula sangat menarik untuk ditelusuri karena secara tidak langsung menggambarkan sejarah panjang penjajahan Belanda di Indonesia pula dan museum adalah bentuk rekam sejarah yang tepat untuk riwayat gula di Indonesia.

Sayangnya tidak banyak pihak yang melihat museum sebagai komoditi yang menarik untuk dijual. Seringkali meskipun harga tiket masuk museum dipasang serendah mungkin dengan harapan dapat menarik lebih banyak pengunjung, museum tetap jarang dilirik sebagai lokasi wisata yang menghibur.

Apa pasal? Penulis mencoba menganalisis beberapa alasan utama mengapa museum cenderung sepi pengunjung, yaitu pertama, bangunan fisik dan desain museum yang cenderung kaku serta tata letak koleksi museum tidak banyak perubahan tiap tahunnya. Akibatnya banyak orang yang mengunjungi museum hanya sekali dalam seumur hidup karena dapat dipastikan  tahun depan tata letak koleksi museum, misalnya foto sejarah, masih akan berada persis di titik yang sama. Membosankan. Museum kebanyakan hanya menjadi seperti gudang penyimpanan benda bersejarah, bau apek, dan akhirnya pengunjung kurang betah untuk berlama-lama di dalamnya..

Kedua, penyajian koleksi yang kurang menarik. Museum cenderung membosankan dalam penyajian koleksinya karena tidak adanya hubungan interaktif antara koleksi dengan pengunjung yang bisa melibatkan pengunjung secara emosional. Ini berarti pengunjung tidak diperbolehkan untuk menyentuh sama sekali koleksi yang ada di dalam museum. Bahkan ada beberapa museum yang tidak memperbolehkan pengunjung untuk mengambil gambar dengan kamera. Untuk beberapa koleksi yang rentan terhadap kerusakan, aturan “tidak boleh sentuh” seperti itu bisa saja diterapkan, tetapi ada koleksi lain yang akan menjadi lebih baik kalau pengunjung diperbolehkan untuk menyentuh atau bahkan melakukan simulasi dengan koleksi yang ada. Atau bisa saja museum menyediakan tiruan koleksi yang bisa dipegang oleh pengunjung.

Ketiga, museum tidak banyak menawarkan hal selain pengetahuan/informasi sejarah yang dijejalkan lewat ekshibisi koleksi kepada pengunjung. Tidak ada konektivitas emosional antara museum dengan pengunjung. Padahal, museum bisa dengan luwes memanfaatkan teknologi dalam memberikan pengetahuan atau hiburan lain yang berkaitan dengan sejarah kepada pengunjung. Kebanyakan museum juga jarang mengadakan kegiatan edukatif yang rutin diadakan untuk menggenjot jumlah kunjungan wisatawan.

Keempat, masyarakat Indonesia yang memang pada dasarnya malas mengunjungi museum. Sebenarnya alasan ketiga ini merupakan manifestasi dari alasan pertama dan kedua. Kita bisa saja berargumen bahwa masyarakat Indonesia memang kurang mengakrabi sejarah, tetapi kondisi seperti itu sebenarnya bisa kita siasati dengan merancang museum yang tidak hanya menjadi sarana edukasi tetapi juga sarana hiburan setiap orang.

Keempat faktor tersebut membuat seolah-olah pendirian museum gula kurang potensial dari segi bisnis. Padahal, bila kita cermati, sektor pergulaan tidak hanya menjadi pembahasan atau kajian yang menarik dari segi sejarah saja, tetapi juga ekonomi, kultur-budaya, sains, dan bahkan teknologi. Jadi, selain sejarah panjang pergulaan, bisa saja kita mengintegrasikan aspek lain, seperti sains, teknologi, budaya, dan hiburan ke dalam museum.

Satu contoh menarik yang bisa penulis jadikan sebagai perbandingan adalah sebuah tempat pembelajaran dan informasi budaya Amerika Serikat yang berlokasi di Jakarta yang menurut saya sangat menarik karena memiliki konsep yang modern dan mutakhir. Tempat itu bernama @America yang berlokasi di sebuah Mall bernama Pasific Place. Bayangkan, pusat kebudayaan di dalam sebuah mall! Bisakah ramai pengunjung? Apalagi kalau bicara mall maka yang akan melintas di benak kita pertama kali adalah belanja, belanja, dan belanja! Bukan untuk mencari kegiatan yang bernilai edukatif. Ternyata skeptisme saya tidak terbukti, @America selalu penuh dikunjungi bahkan oleh para siswa sekolah-sekolah yang berasal dari luar kota. Konsep yang dikemas di @America membuat kegiatan belajar budaya di sana sama sekali tidak terasa membosankan. Pengunjung dibebaskan untuk dapat memilih sendiri akses informasi yang diinginkan dengan menggunakan peralatan multimedia layar sentuh yang tersebar merata di seluruh lokasi @America. Lokasi itu juga dilengkapi dengan auditorium yang digunakan untuk pertunjukan, pelatihan, seminar, lokakarya, dan bahkan demo memasak yang tidak harus bertemakan Amerika saja. Kegiatan @America selalu penuh dan tidak ada hari liburnya. Semuanya fasilitas dan kegiatan di sana bisa diakses tanpa harus mengeluarkan biaya sama sekali alias gratis.

Satu hal yang bisa kita pelajari di sini. Meskipun terdengar membosankan, terutama untuk anak muda, ternyata tema budaya dan sejarah bisa menarik pengunjung untuk datang juga asal kemasan lokasi dan penawaran konten wahana sejarah itu dibuat semenarik mungkin. karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang selalu ingin tahu dan haus sekali pengetahuan, termasuk pengetahuan sejarah.

PTPN X memiliki aset berupa pabrik gula kuno yang bisa dijadikan bagian dari wahana wisata gula, seperti Watoetoelis, Toelangan, dan Kremboong yang berada di Sidoarjo; Gempolkrep di Mojokerto; Djombang Baru dan Tjoekir di Jombang; Lestari di Nganjuk; Meritjan, Pesantren Baru, dan Ngadiredjo di Kediri; dan Modjopanggoong Tulungagung. Kesemuanya berpotensi besar untuk dijadikan wahana taman wisata sejarah gula unggulan. Bila PTPN X bisa membangun sebuah wahana wisata gula yang merespons keinginan dan kebutuhan para calon pengunjung, tentunya pendirian wahana wisata gula ini akan bernilai ekonomis yang sangat tinggi dan menjadi alternatif pendapatan PTPN X kelak. Wahana wisata sejarah yang saya maksudkan di sini adalah integrasi antara bangunan pabrik gula kuno, museum, dan lahan sekitar pabrik.

Analisis potensi bisnis wahana wisata tersebut penulis lakukan berdasarkan dua alasan kuat, yaitu:

Pertama, jumlah museum gula di dunia hanya sedikit. Bila dibangun sebuah museum yang memuat segala hal tentang gula, dari mulai sejarah, teknologi pengolahan, pemanfaatan, ekonomi, penelitian, dan budaya yang terkait dengan gula atau tebu, bisa dipastikan pengunjung yang bertandang tidak hanya wisatawan domestik, tetapi juga wisatawan mancanegara.

Kedua, tidak banyak museum di Indonesia yang menarik dari segi koleksi, lokasi, maupun kegiatan yang ditawarkan di dalamnya sehingga dapat menjadi alternatif kunjungan museum ang sangat menarik, khususnya bagi anak-anak sekolah tingkat dasar, menengah, dan bahkan perguruan tinggi jurusan tertentu (sejarah, budaya, kimia, dan teknologi industri). Selain itu, tidak banyak juga museum di Indonesia yang mengintegrasikan dengan sangat baik antara museum dengan hiburan dan teknologi tingkat tinggi.

            Kedua alasan ini dapat menjadi tolok ukur kesimpulan penulis bahwa pendirian sebuah wahana wisata gula yang integratif akan sangat menguntungkan dari sisi ekonomi karena perkiraan jumlah pengunjung yang banyak dan dapat telihat “seksi” di mata para investor.

Secara ringkas, analisis potensi museum sejarah gula yang akan dibangun oleh PTPN X dapat dilihat dalam bagan SWOT berikut ini:


Strenght
Memiliki aset berupa pabrik gula kuno yang bernilai historis, lahan tebu di sekitar pabrik;
Profesional dalam pengolahan gula;
Memiliki hubungan baik dengan para stakeholder pergulaan yang dapat menunjang pengadaan koleksi museum dan kegiatan edukasi dalam museum.
Weakness
Belum pernah membuat dan mengelola museum gula sebelumnya;
Personil yang belum terlatih;
Manajemen yang belum profesional.

Opportunities
Tidak banyak museum gula yang berdiri di Indonesia, bahkan di dunia;
Tidak banyak museum di Indonesia yang menarik bagi pengunjung.
Threat
Dana;
Selera pengunjung yang tidak bisa diprediksikan;
Ada pabrik gula lain di Indonesia yang bisa menjadi rujukan wisata sejarah gula lainnya.



Weakness dan threat yang ada dapat diatasi dengan cara-cara berikut ini: pelatihan rutin personil tim pengelola wahana wisata sejarah gula di bidang teknis maupun manajemen; membuka peluang kerjasama dengan pihak lain dan disertai dengan proposal pengembangan museum yang menarik bagi para investor; studi banding dengan museum gula di dalam maupun luar negeri atau museum lainnya yang terbilang sukses dalam menarik jumlah pengunjung; membuka komunikasi dua arah antara pengunjung dengan pengelola wahana untuk keperluan pengembangan wahana wisata agar selalu menarik dan segar.


Pengembangan Wahana Wisata Sejarah Gula

Dalam mengembangkan museum gula seperti yang diharapkan, ada dua hal pokok yang perlu dirancang sematang mungkin, yaitu konten dan konteks. Konten adalah segala apa yang kita tawarkan dari wisata ini, sedangkan konteks adalah bagaimana cara kita menawarkannya kepada konsumen. Dalam bagian ini, kita akan lebih terfokus membahas konten, sedangkan mengenai konteks akan dibahas lebih lanjut di bagian perencanaan pemasaran.

Apa konten museum? Tentu yang dimaksud dengan konten sebuah museum tidak terlepas dari lima hal utama: visi-misi museum; sdm/personil; bangunan/gedung/lokasi; koleksi museum; dan kegiatan-kegiatan edukatif sekaligus menghibur yang ditawarkan di dalamnya. Bisa saja kita membuat museum dengan konten yang rata-rata, sebagaimana museum lainnya, yaitu ekshibisi koleksi museum semata, namun disertai dengan konteks (penawaran) yang luar biasa. Hal ini mungkin akan berdampak pada jumlah pengunjung yang bisa jadi membludak di masa awal-awal pembukaan museum saja, sesudahnya tidak akan banyak yang bertandang lagi. Oleh karena itu, selain konteks yang hebat, konten museum harus dibuat sedahsyat mungkin.


Konten Pertama: Visi dan Misi Wahana Wisata Sejarah Gula

Museum harus tegas mendefinisikan apa-apa yang menjadi visinya karena visi adalah alat bantu yang dapat menjadi semacam cetak biru pengembangan wahana wisata selanjutnya. Visi menjadi semacam identitas wahana wisata sejarah gula dan identitas itu harus sedemikian kuatnya sehingga para konsumen pun mengenali wahana wisata hanya dari identitas tersebut. Sebagai contoh, Hard Rock Café terkenal sebagai sebuah café yang Rock ‘n Roll, sebegitu kuatnya identitas itu sampai kita tidak akan bisa membayangkan musik dangdut dapat masuk café itu.

Sejarah gula tidak bisa kita lepaskan dari peran sains, kultur-budaya, dan teknologi. Bahkan, bidang ekonomi pun termasuk bidang yang dipengaruhinya. Keempat aspek tersebut harus dipertimbangkan dalam penetapan visi museum. Misalnya, PTPN X dapat membuat museum dengan visi besar menjadi pusat pembelajaran sains, budaya, dan penggerak ekonomi berbasis industri gula yang terbesar di ASEAN. Dengan menetapkan visi terlebih dahulu, museum akan semakin mudah untuk merancang misi (tindakan, layanan yang ditawarkan, perencanaan kegiatan, dan sebagainya).


Konten Kedua: Sumber Daya Manusia/Personil

Personil adalah aspek yang paling sering terlupakan dalam pengembangan sebuah wahana wisata seperti museum. Personil haruslah dikelola di bawah manajemen yang baik. Pengelola museum sekelas Louvre pun mengamini bahwa optimalisasi dan peningkatan profesionalisme manajemen sebuah museum sangat penting untuk dapat bersaing dengan obyek tujuan wisata lainnya (makalah ilmiah untuk AOM 2010 Conference yang berjudul Revisiting museum strategy: Mona Lisa’s new smile).

Wahana wisata sejarh gula ini haruslah memiliki kejelasan struktur organisasi dan deskripsi tugas masing-masing personil. Selain itu, pembentukan divisi-divisi yang diperlukan untuk menunjang operasional wahana wisata juga harus dipertimbangkan. Tentu selain divisi pemasaran, harus ada pula divisi HRD yang mengelola masalah karyawan; divisi keuangan; divisi humas; divisi ekshibisi pameran; dan divisi lainnya yang kira-kira diperlukan.

Di banyak museum luar negeri juga ada divisi R&D pameran yang mengurusi masalah tata-letak pameran koleksi yang dimiliki museum untuk menjaga agar museum selalu terlihat “segar” dari segi penampilannya.

Masing-masing divisi harus mendapatkan pengembangan keterampilan yang rutin diadakan, terutama sekali untuk divisi pameran yang didominasi oleh para pemandu museum karena merekalah yang nantinya akan berhubungan langsung dengan konsumen (pengunjung). Pemandu museum (termasuk resepsionis) haruslah memenuhi kriteria tertentu, seperti mampu berbicara dalam bilingual, ramah, sigap dalam membantu pengunjung, memiliki pengetahuan produk dan layanan yang baik, kemampuan komunikasi dan mendengarkan yang baik, serta penampilan yang menarik. Bila perlu, para pemandu harus mengenakan seragam resmi wahana wisata agar kesan profesional semakin melekat pada diri mereka

            Bila museum kesulitan, terutama dalam hal dana, untuk memperbanyak personil, bisa diadakan sebuah sistem perekrutan relawan yang bersedia menjadi pemandu museum dari kalangan pelajar, mahasiswa, ataupun orang umum terutama kalangan pensiunan. Sistem kerelawanannya dapat sama sekali tidak dibayar, tetapi dengan beberapa ketentuan, misalnya mendapatkan sertifikat partisipasi organisasi ekstrakulikuler untuk para mahasiswa, mendapatkan pelatihan komunikasi/public speaking dari museum secara gratis, akses gratis ke seluruh wahana wisata sejarah, dan lain-lain. Atau bisa saja menggunakan sistem fee dengan berbagai ketentuan yang disepakati sebelumnya (dalam segi waktu menjadi relawan, jumlah bayaran, dan lain-lain). Sebagai contoh, Museum gula Maui di Hawaii juga melakukan perekrutan relawan untuk dijadikan pemandu wisata dalam jelajah koleksi museum, resepsionis, dan bahkan penjaga toko suvenirnya.


Konten Ketiga: Bangunan/Gedung/Lokasi

Untuk memperkuat kesan kehistorisan wahana wisata gula, bangunan yang digunakan sebagai lokasi wahana bisa digunakan pabrik gula yang memang sudah lama berproduksi sejak zaman penjajahan serta lahan sekitarnya. Sebelumnya sudah disebutkan kalau PTPN X memiliki banyak pilihan pabrik gula kuno yang bisa diintegrasikan ke dalam wahana wisata sejarah gula.

Nilai historis dari pabrik-pabrik gula kuno tersebut dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan dan bahkan menarik untuk dikaji oleh para ahli arkeolog industri dari dalam maupun luar negeri. Hanya yang perlu diingat, bangunan pabrik gula kuno itu harus menjadi satu kesatuan yang utuh dengan bangunan wahana lain. Rancang bangun museum tempat pameran koleksi haruslah didesain secara matang dan bernilai seni tinggi, tidak boleh asal-asalan. Para seniman dan desainer interior dapat dilibatkan dalam proses kreasi gedung dan hiasan sekitarnya. Bahkan museum Louvre pun memiliki arsitek khusus yang membuat piramida kaca sebagai bagian dari museum yang sangat menarik dan memesona tanpa memisahkan diri dari kesatuan konsep dengan bangunan utama museum itu sendiri. Museum gula pun bisa membuat sebuah bangunan yang menjadi icon identitas dari museum sehingga menarik pengunjung untuk tidak hanya menikmati sajian koleksi bersejarah di dalamnya tetapi juga menikmati keindahan bangunan dan seni rupa yang melengkapinya.

Selain itu, dengan tidak bermaksud berpikir dangkal, tentunya kita akan merasa lebih nyaman memandang seseorang yang berwajah cantik rupawan, rapi, wangi, dan ceria ketimbang seseorang yang sudah kurang enak dilihat, berantakan, bau, dan muram, bukan? Kita adalah makhluk visual, cenderung menyukai memandang sesuatu yang memang enak dilihat. Begitu juga dengan museum. Tentu kita akan lebih menyukai berada di dalam gedung museum yang memiliki desain interior mumpuni, wangi, pencahayaan cukup, dan bahkan disertai ruang pamer tersendiri untuk tiap sentra yang berbeda tema. Cat bangunan jangan membosankan dengan didominasi warna putih. Akan lebih menarik bila tiap ruang pamer memiliki warna cat yang berbeda. tiap koleksi harus disertai dengan keterangan yang lengkap dan tersedia dalam dua bahasa. Papan penunjuk informasi di dalam museum harus dibuat semenarik dan sejelas mungkin. Bahkan akan lebih nyaman lagi bila pengunjung dimanjakan dengan musik lembut yang diputar atau dimainkan secara live hingga terdengar di seluruh bangunan museum.

            Khusus mengenai keberadaan ruang pamer koleksi museum, penulis merasa keberadaannya sangat penting dan kalau perlu dibagi menjadi beberapa ruang pamer yang berbeda. Ruang pamer dibuat sedemikian rupa sehingga untuk memasuki ruang pamer, pengunjung tidak perlu masuk berurutan dan mengikuti satu alur saja, misalnya dari pintu masuk lalu ke ruang sejarah gula, lalu ke ruang teknologi pengolahan gula, dan seterusnya sampai ke pintu keluar. Akan lebih baik bila pengunjung diberikan keleluasaan untuk memilih ruang pamer mana dulu yang ingin dikunjungi, tanpa harus berurutan. Pembagian ruang pameran yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut:

1.      Sentra Sejarah

Sentra/ruang pamer ini berisi koleksi alat-alat, foto, dan alat bantu multimedia (komputer layar sentuh yang memuat informasi mengenai sejarah gula). Sentra ini memuat segala hal yang berkaitan dengan sejarah gula dunia, sejarah gula Indonesia, dan sejarah arkeologi industri gula (bangunan pabrik gula kuno di Indonesia). Akan menarik lagi bila di dalam Sentra Sejarah ini terdapat patung (semacam diorama, tetapi dalam skala sebenarnya) yang menggambarkan sejarah gula dan pengunjung dibebaskan untuk mengambil gambar bersama patung tersebut. Sebagai contoh, dapat dibuat patung petani zaman penjajahan yang sedang mengolah tanah yang akan ditanami tebu dan pengunjung dapat menyentuh patung itu secara langsung (tidak dibatasi dengan kaca, seperti halnya museum lilin Madam Tussauds).

2.      Sentra Budaya

Sentra ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

a.      Indoor

Sentra ini berisi foto, alat, dan multimedia yang menggambarkan kebudayaan Indonesia dan dunia yang berkaitan dengan gula, misalnya gambar dan alat kegiatan Manten Tebu yang biasa dilakukan ketika musim giling tebu tiba.

b.      Outdoor

Pihak museum dapat menjadi penyelenggara festival Manten tebu yang dijadikan agenda rutin museum dan diadakan tiap awal musim giling tebu. Festival itu dilakukan dengan menggelar kirab budaya dan pasar rakyat juga sehingga dapat melibatkan pemerintah daerah dan warga sekitar untuk ikut berpartisipasi. Kegiatan ini tentu akan lebih menarik lagi terutama bagi turis mancanegara. Atau di bulan-bulan lainnya, untuk menarik minat wisatawan juga museum dapat menggelar pertunjukan sendratari atau drama yang berkaitan dengan sejarah gula di masa penjajahan.

3.      Sentra Sains

Sentra ini membahas segala hal tentang tebu (nama biologi, jenis, penyakit dan hama yang menyerangnya, kegunaannya, dll); gula (senyawa kimia yang ada di dalamnya, cara pemeriksaan kemurniannya, kegunaannya, dll); dan teknologi pembuatan gula dari masa ke masa. Sentra ini menonjolkan sisi ilmiah dari gula dan tebu.

Sentra sains dapat dirancang dengan mengombinasikan antara gambar/foto, pameran benda/koleksinya secara langsung, diorama laboratorium, alat multimedia (memuat informasi ilmiah tentang tebu, gula, dan cara pengolahannya), dan juga alat simulasi multimedia untuk membuat gula yang dirancang oleh museum dengan bantuan ahli pembuat game atau ahli digital. Jadi, di dalam sentra ini terdapat wahana serupa game yang bisa dimainkan oleh pengunjung anak, namun game yang disajikan berkaitan dengan gula dan tebu, misalnya game membasmi hama tebu.

4.      Sentra Bisnis

Sentra ini berupa coffee lounge atau café dan pusat penjualan suvenir museum. Selain kaos, kalung, atau suvenir biasa lainnya, suvenir yang ditawarkan di sini dapat berupa buku sejarah gula yang khusus dicetak sendiri oleh museum dan eksklusif karena tidak dijual di tempat lain. Sentra ini juga dilengkapi dengan perpustakaan mini untuk teman minum kopi para pengunjung. Dinding sentra bisnis dapat dihiasi dengan data-data tentang komoditas gula yang ditata secara menarik.

5.      Sentra Hiburan dan Agrowisata

Sentra ini berada di dalam dan luar museum (masih berada dalam kawasan wahana wisata gula). Sentra yang berada di dalam museum adalah berupa panggung hiburan yang diisi dengan live music tiap waktu tertentu. Museum dapat bekerja sama dengan seniman/musisi di daerah tempat museum itu berada atau melibatkan kelompok ekstrakurikuler musik para pelajar dan mahasiswa yang berada di sekitar museum itu. Musik yang disajikan tidak hanya tradisional, tetapi bisa juga jenis musik populer dan Jazz. Tentunya beberapa perlengkapan musik dasar disediakan oleh pihak museum. Selain itu, dibuat juga ruangan auditorium yang bisa menayangkan film tentang sejarah gula, teknologi pembuatan gula, dan sebagainya. Auditorium itu juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan seminar, diskusi, dan lokakarya yang bisa disewakan kepada pihak luar yang berminat ataupun untuk kegiatan seminar, diskusi, dan lokarya yang diadakan sendiri oleh museum.

Untuk kegiatan diluar museum dapat memanfaatkan kereta kuno yang dahulu digunakan untuk mengangkut tebu ke pabrik pengolahan. Kereta itu dapat digunakan untuk mengelilingi lokasi wahana wisata dan di waktu tertentu (mungkin bersamaan dengan festival Manten Tebu), pengunjung bisa menyewa kostum zaman dahulu (kostum petani tebu, kostum orang Belanda pemilik ladang dan pabrik tebu) sambil berfoto mengelilingi wahana dengan mengenakan kostum itu.

Untuk melengkapi wahana edukasi, museum dapat membuat lahan tebu simulasi. Pada masa tanam tebu, museum dapat menggelar agrowisata untuk anak dan remaja di mana mereka berpartisipasi langsung dengan petani tebu untuk menanam tebu bersama sebagai ajang pembelajaran mereka mengenai tanaman ini. Atau mengadakan tur keliling pabrik yang berada di dalam wahana wisata gula ini.


Konten Keempat: Koleksi Museum

Koleksi museum yang berada di dalam masing-masing sentra adalah alat-alat atau barang yang dimiliki oleh museum sendiri karena sentra itu bersifat tetap. Agar koleksi tidak membosankan, di sekitar sentra yang menjadi ruang pamer tetap, diletakkan koleksi lainnya yang bisa diubah tata letaknya tiap periode tertentu. Selain itu, museum dapat mengadakan kerjasama dengan museum gula lain di dunia, misalnya Museum gula di Jerman dan Maui, untuk saling bertukar pinjam koleksi masing-masing agar dapat dipamerkan di sini.


Konten Kelima: Kegiatan Museum

Pengunjung biasanya akan mendatangi museum pada waktu tertentu saja. Oleh karena itu, museum harus secara proaktif menggelar even-even lain yang dapat menarik pengunjung setiap saat, meskipun bukan di masa liburan sekolah. Misalnya, museum dapat menggelar forum diskusi sejarah secara rutin yang diampu oleh relawan sejarawan ternama atau bekerja sama dengan fakultas sejarah/sosial-budaya universitas sekitar museum menggelar kuliah umum di dalam auditorium museum.

Kegiatan edukasi lain, seperti lokakarya pembuatan permen asam-gula; agro wisata tanam tebu, tanaman tumpang sari lainnya; pelatihan pembuatan pupuk organik; pelatihan entrepreneur tanaman tebu, dan lain-lain dapat digelar secara rutin pula oleh pihak museum dan tentunya kegiatan ini akan menambah pemasukan tersendiri bagi museum.


Bentuk Pemasaran yang Dapat Dilakukan

Pemasaran museum tidak bisa lepas dari konteks, yaitu bagaimana cara menawarkan konten yang sudah dirancang sebelumnya kepada para calon konsumen. Bila konten terkait dengan sisi rasional pelanggan, konteks terkait dengan emosi pelanggan, yaitu seberapa jauh penawaran konten yang kita miliki tadi menyentuh ranah emosi mereka. Penulis akan coba menganalisis dan memberikan contoh model pemasaran yang tepat untuk wahana wisata gula dengan menggunakan 7P marketing mix.

Product

Produk yang dijual adalah wahana wisata gula yang tidak hanya berupa museum saja, tetapi menjadi satu kesatuan utuh dengan pabrik gula, dan lahan tebu yang berada di sekitar. Produk yang dijual tadi adalah konten yang sudah kita kembangkan di bagian sebelumnya. Untuk menambah keunikan konten, museum dapat dirancang menjadi bangunan yang ramah lingkungan, desain pencahayaannya yang hemat energi (tidak memerlukan pencahayaan dengan lampu listrik), dan ramah terhadap para difabel. Buku panduan museum dibuat versi khusus difabel. Hal-hal unik seperti itu akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para calon pengunjung.

Place

Lokasi yang dipilih di antara beberapa pabrik gula kuno yang disebutkan sebelumnya haruslah dipilih yang paling mudah aksesnya dan dapat membuat ekonomi daerah sekitar wahana wisata terdorong maju. Karena bila kelak wahana ini ramai pengunjung, bukan tidak mungkin akan ramai pula dengan penginapan dan penjualan kuliner daerah. Untuk kenyamanan pengunjung, lokasi parkir harus luas dan dilengkapi dengan kantin di luar wahana wisata dan masjid yang bersih dan terawat untuk fasilitas pengunjung.

Price

Kebijakan harga yang dilakukan haruslah diperhitungkan masak-masak. Perlu juga dibuat diferensiasi harga untuk anak, remaja-dewasa, manula, dan para difabel juga. bisa dibuat kebijakan harga antara pengunjung personal, kelompok, dan diskon untuk pembelian tiket sejumlah tertentu atau di bulan-bulan tertentu. Konten yang ditawarkan dapat ditawarkan berupa paket dengan harga bervariasi. Misalnya, dibuat paket edukasi agro yang memungkinkan pengunjung mendapatkan tur ke museum sentra sains dan wisata agro penanaman tebu atau paket entrepreneur tebu yang memberikan tur ke sentra sejarah, sains, dan keliling pabrik gula. Diferensiasi harga ini membuat pelanggan merasa mendapatkan pelayanan dengan sentuhan personal dari museum karena merasa diberikan “kuasa” untuk memilih paket mereka diinginkan.

Promotion

Promosi yang dilakukan selain cara tradisional, seperti brosur dan leaflet yang disebar ke agen-agen wisata dan pameran pariwisata di dalam dan luar negeri, serta iklan di berbagai media cetak dan elektronik, dapat juga menggunakan cara mutakhir dengan memasang iklan di website travel dalam dan luar negeri serta mensponsori kegiatan yang berkaitan dengan kebudayaan atau bahkan mensponsori film yang bertemakan sejarah. cara terakhir ini cukup progresif dan unik karena saat ini film sendiri merupakan media promosi ampuh yang mulai dilirik banyak instansi. Hal ini terjadi karena ternyata dampak yang diakibatkan oleh sebuah tontonan jauh lebih besar daripada tulisan. Lihat saja bagaimana pemerintah daerah Sumatera Selatan berupaya mengenalkan budaya daerahnya lewat film kolosal, Gending Sriwijaya.

People

Selain personil manajemen wahana wisata sejarah gula dan konsumen (para pengunjung), ada pihak-pihak lain yang secara langsung atau pun tidak langsung terlibat dalam museum serta harus diperhitungkan dalam penentuan keputusan strategi pemasaran. Strategi pemasaran yang dipilih harus mempertimbangkan juga pemilik modal, media, analis, dan masyarakat umum. Makin banyak orang yang diperhitungkan ketika merencanakan pemasaran akan membuat pemasaran yang dilakukan kaya dengan pesan dan bermakna mendalam bagi konsumen dan  menjadikan konten yang kita tawarkan sebagai pengalaman yang menyentuh emosi mereka, bukan sekedar produk semata.

            Personil manajemen harus mendapatkan pelatihan, pengawasan, dan evaluasi kinerja yang ketat agar kualitas pelayanan yang mereka berikan kepada pelanggan terjaga profesionalitasnya. Bila petugas professional tentunya pengunjung akan puas dan pengunjung yang puas akan menjadi marketer museum dengan sendirinya karena menceritakan kepuasan kunjungannya ke lingkungan terdekatnya dan ini tanpa biaya sama sekali yang harus dikeluarkan oleh pihak museum.

            Untuk menjalin hubungan baik dengan media, museum dapat melakukan rilis pers untuk tiap kegiatan baru yang dijadwalkan menjadi kegiatan pada tahun yang berjalan.

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, bila mengalami kesulitan dalam hal perekrutan pegawai tetap museum, tenaga bantu dapat diperoleh melalui pembentukan komunitas relawan museum. Para relawan ini diberikan pelatihan rutin yang dapat membantu mengasah soft skill yang tidak hanya bermanfaat ketika mereka menjadi relawan museum, tetapi juga untuk kehidupannya sendiri.

Process

Proses menjadi poin pemasaran yang juga penting karena dapat berujung pada kepuasan pelanggan. Proses melibatkan nilai tambah yang bisa diberikan kepada pengunjung dan dengan proses yang baik, kita dapat menjalin hubungan langka panjang serta memberikan pengalaman interaktif kepada para pelanggan.

Perlu diingat, perusahaan yang berhasil adalah perusahaan yang sukses membangun interaksi dengan pelanggan dan berhasil melakukan transaksi jangka panjang dengan pelanggan. Proses di dalam marketing mix tidak hanya mencakup tentang bagaimana mempromosikan dan memberikan nilai tambah yang sudah diberikan wahana wisata, tetapi juga bagaimana mengedukasi dan mendukung pelanggan dalam kegiatan yang berjalan.

Proses juga menekankan bahwa wahana wisata telah memuaskan pelanggan melalui layanannya dan penyajian produk/koleksinya. Untuk itu, langkah yang bisa dilakukan oleh museum adalah dengan:

1.      Membuat akun social media, seperti Facebook dan Twitter, dan menempatkan petugas khusus yang mengelola akun tersebut untuk mewakili pihak wahana dalam berinteraksi dengan konsumen dan calon konsumen. Hal ini digunakan untuk membina hubungan baik dengan konsumen lama dan sekaligus menarik konsumen baru.

2.      Membentuk website wahana wisata sejarah gula yang disertai dengan laman mengenai kunjungan virtual ke museum (e-museum). Pemesanan tiket kunjungan dapat dilakukan secara daring (online). Selain itu, di dalam website dapat dibuat forum pengunjung dan relawan yang dapat saling berinteraksi secara daring, semacam forum KasKus.

3.      Menyiapkan kotak kritik dan saran bagi wahana agar para pengunjung merasa dilibatkan dalam pengembangan museum. Untuk merangsang masuknya kritik dan saran yang membangun, museum dapat membuat sistem imbalan bagi pemberi kritik dan saran terbaik dengan memberikan mereka tiket gratis paket museum tertentu untuk dua orang.

4.      Membentuk klub pecinta museum yang keanggotaannya dikelola oleh museum. Anggota mendapatkan potongan harga tiket masuk ataupun tiket kegiatan lain yang diadakan oleh museum.

Physical Evidence

Sebenarnya poin pemasaran ini berlaku untuk produk yang berupa jasa. Poin ini dapat dikaitkan dengan yang contoh yang sudah disebutkan sebelumnya, yaitu pengadaan kkotak kritik-saran museum dan bagi kritik-saran terpilih akan diunggah ke dalam website wahana. Untuk menambah menarik lagi, di dekat pintu keluar museum dapat dibuat sebuah dinding berlapis plastik khusus yang bisa dicorat-coret pengunjung untuk sekedar tandatangan atau tulisan lain sebagai bukti kalau mereka pernah mengunjungi museum gula. Bila plastik itu sudah penuh, akan diganti dengan plastik baru dan yang lama akan disimpan di ruang penyimpanan museum yang suatu saat (puluhan tahun kemudian) bisa menjadi koleksi yang dipamerkan di dalam museum untuk nostalgia.

Penutup

Sejarah gula Indonesia yang sangat panjang seharusnya bisa disajikan secara menarik karena informasi seperti itu sangat berharga agar anak bangsa mengetahui sejarah komoditi yang dulunya pernah menjadi andalan di Indonesia. Gambaran tentang museum yang identik dengan suasana sepi dan mencekam harus diubah secara progresif agar menarik kunjungan para wisatawan. Tidak hanya konten yang diperkuat dan dibuat menarik, cara penawarannya pun harus lebih dahyat lagi agar keunggulan dan keunikan wahana wisata sejarah gula semakin menarik untuk dikunjungi wisatawan yang tidak hanya didominasi oleh anak sekolah yang terpaksa mengunjungi museum karena diwajibkan pihak sekolah.

Semoga ide-ide yang tertuang di dalam tulisan ini dapat menjadi sumbangsih penulis bagi pengembangan museum yang tidak hanya mengandung nilai historis edukatif, tetapi juga mampu menghibur segala kalangan. Semoga.

  • Share:

You Might Also Like

0 Comments