SIapa Bilang Islam Melarang Korupsi?

By RFR - Desember 05, 2013



Tidak ada satu pun bagian dari sendi kehidupan seorang muslim yang terlepas dari aturan yang dibuat oleh Alloh Ta’ala, baik yang tersurat lewat Al-Qur’an maupun tersirat dalam sunnah Rasululloh. Tidak terkecuali aturan dalam kehidupan seorang muslim ketika bermuamalah dengan sesama. Untuk kegiatan itu pun Al-Quran dan Assunnah sudah mengaturnya pula. Termaktub secara terperinci. Hanya soal mau atau tidak seseorang mengikutinya. Jelas bila orang itu adalah seorang muslim yang baik, mereka akan mau mengikuti aturan yang telah terang benderang perintahnya itu. 

Lalu untuk apa semua aturan itu? Bila kita renungkan dengan pikiran jernih tanpa diselipi ego dan nafsu, tentu jawabannya adalah untuk kebaikan kita sendiri, untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, tidak salah bila seorang muslim yang baik diibaratkan seekor lebah. Memberikan kemanfaatan lewat produksi madu yang dihasilkannya, tetapi di saat yang sama juga membantu bunga-bungaan melakukan penyerbukan. Pun saat lebah hinggap di atas ranting, dia tidak menyebabkan ranting  itu patah oleh berat tubuhnya. Begitupun seorang muslim yang baik. Mereka memberikan kemanfaatan bagi sekitar dan keberadaannya tidak merugikan siapa pun.

Atas dasar alasan sederhana tetapi mendalam itulah tentu secara logis kita akan mengasumsikan bahwa Islam melarang segala bentuk kegiatan yang merugikan orang lain dan bahkan makhluk lain. Termasuk halnya dalam korupsi. Kita tahu bahwa pengertian korupsi sendiri adalah perbuatan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri, seperti menggelapkan uang atau menerima uang sogok (KBBI).  Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Un­dang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri terdapat 30 jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan  menjadi tujuh kelompok besar, yaitu kerugian keuangan Negara; suap-menyuap; penggelapan dalam jabatan; pemerasan; per­buatan curang; benturan kepentingan dalam pengadaan; dan gratifikasi. Semua jenis tindakan ini merugikan kepentingan umum.

Tapi kenapa penggunaan kekuasaan untuk kepentingan sendiri itu dilarang? Bukankah lumrah kalau kita punya kuasa, kita bisa berbuat apa saja semau kita. Kapan lagi toh kita berkuasa? Apalagi banyak orang zaman sekarang yang sudah mengentengkan perkara korupsi. Politisi, guru, pengusaha, pedagang, bahkan sampai level pegawai rendahan pun seperti tidak mau ketinggalan ikut terjun menikmati lumpur korupsi. Bahkan belakangan juga terungkap kasus korupsi yang melibatkan partai yang kita kenal berbasiskan Islam yang kental. Wajarkan korupsi?

Jawabannya tentu tidak kawan. Aturan Islam berlaku untuk siapa saja dan kapan saja sampai dunia dan seisinya tergulung nanti pada hari yang sudah ditentukan (kiamat). Bila pun semua orang di dunia melakukan korupsi sampai (maaf) para ulama su’u menyerukan dan mencontohkan kita untuk berbuat korupsi, perintah dan contoh itu batil dan tidak layak ditiru. Kenapa? Karena sudah tertera perintah Alloh Ta’ala bagi kita untuk menjauhi perilaku itu.

Di dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. [Al-Baqarah : 188].

Kita sudah keras dilarang Allo Ta’ala dari melakukan kecurangan dengan memakan hak orang lain. Harta orang lain. Saat korupsi tentu kita mengambil hak orang lain. Semisal kita adalah seorang kepala daerah dan melakukan penggelembungan dana perbaikan sekolah, ternyata uang yang dikeluarkan untuk perbaikan hanya separuhnya, maka separuh yang harusnya menjadi hak anak-anak sekolah itu sudah kita makan secara batil.

Seorang ulama terdahulu Al Haitsami rahimahullah memiliki penafsiran terhadap ayat tersebut bahwa “Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mengetahui hal itu tidak halal bagi kalian. Perkara yang dilarang ini pun sama dengan pengertian korupsi. Yaitu dengan kuasa berupa uang sogokan pada hakim, kita berusaha memuluskan kepentingan kita. Ini dilarang keras dalam Al-Quran. Begitu pun dalam Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Korupsi tadi bahwa suap-menyuap termasuk tindak korupsi.

Lalu bagaimana dari pandangan Assunnah sendiri?
عَنْ عُمَر عَبْدِ اللهِ بْنِ قاَلَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الرَاشِى، وُاْلمُرْتَشَىِ

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap. [HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190].

Derajat hadits ini menurut Syaikh Al-Albani adalah ”Shahih.” Dalam riwayat Tsauban, bahkan terdapat tambahan hadits: “Arroisy” (...dan perantara transaksi suap)”. [HR Ahmad, 5/279]. Ini artinya pemberi suap, penerima suap (yang korupsi), bahkan sampai perantaranya semua dilaknat oleh Rasululloh Shallallahu alaihi wa sallam, junjungan kita tercinta. Ini menunjukkan bahwa berarti suap (korupsi) termasuk dosa besar yang menyebabkan pelakunya dijauhkan dari rahmat Allah.

Oke, bagaimana dengan pemberian hadiah dari orang lain karena jabatan kita? Dalam hukum yang berlaku di Indonesia hal semacam itu dinamakan gratifikasi. Terdapat riwayat lain yang sekiranya dapat lebih menjelaskan perkara suap-gratifikasi ini.
Dari Abu Hamid as Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengangkat salah seorang dari suku Azad sebagai petugas yang mengambil zakat Bani Sulaim. Orang memanggilnya dengan ‘Ibnul Lutbiah. Ketika datang, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengaudit hasil zakat yang dikumpulkannya.
Ia berkata,”Ini harta kalian, dan ini hadiah,”

Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu?”

Lalu beliau berkhutbah, memanjatkan pujian kepada Allah azza wa jalla, Lalu beliau bersabda: “Aku telah tugaskan seseorang dari kalian sebuah pekerjaan yang Allah azza wa Jalla telah pertanggungjawabkan kepadaku, Lalu ia datang dan berkata “yang ini harta kalian, sedangkan yang ini hadiah untukku.” Jika dia benar, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, kalau benar hadiah itu mendatanginya. Demi Allah, tidak boleh salah seorang kalian mengambilnya tanpa hak, kecuali dia bertemu dengan Allah dengan membawa unta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik,” lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga nampak ketiaknya, dan berkata: “Ya Allah, telah aku sampaikan,” (rawi berkata),”Aku Lihat langsung dengan kedua mataku, dan aku dengar dengan kedua telingaku.” [HR Bukhari, 6979 dan Mustim, 1832],

Nah, sejalan dengan peraturan yang ada di negara kita, ternyata Rasulullah SAW sudah lama melarang keras umatnya untuk menerima gratifikasi yang termasuk perkara korupsi itu.Umat Islam sedari dulu memang sudah antikorupsi.

Kesimpulannya sudah sangat jelas. Dalam Islam, dilarang keras umatnya melakukan korupsi dan malahan tindakan itu termasuk dosa besar karena ancaman laknat dari Alloh Ta’ala. Siapa yang melarang? Kutipan ayat dan petikan hadits sebelumnya sudah jelas menjawab semuanya bahwa Alloh Ta’ala sendirilah yang melarang umat Islam dari melakukan tindak korupsi, rasululloh pun memerintahkan kita menjauhi hal itu.

Sekarang pilihan ada di tangan kita sendiri. Apakah kita mau tunduk terhadap aturan itu sebagaimana seorang muslim sejati ahlussunnah wal jamaah (aswaja) dengan antikorupsi atau mengabaikan saja larangan itu dan menerima laknat dari Alloh Ta'ala?
 

Link: www.aswajanu.com

  • Share:

You Might Also Like

0 Comments