Tidak ada satu pun bagian dari sendi kehidupan
seorang muslim yang terlepas dari aturan yang dibuat oleh Alloh Ta’ala, baik yang
tersurat lewat Al-Qur’an maupun tersirat dalam sunnah Rasululloh. Tidak
terkecuali aturan dalam kehidupan seorang muslim ketika bermuamalah dengan
sesama. Untuk kegiatan itu pun Al-Quran dan Assunnah sudah mengaturnya pula. Termaktub
secara terperinci. Hanya soal mau atau tidak seseorang mengikutinya. Jelas bila
orang itu adalah seorang muslim yang baik, mereka akan mau mengikuti aturan yang
telah terang benderang perintahnya itu.
Lalu untuk apa semua aturan itu? Bila kita
renungkan dengan pikiran jernih tanpa diselipi ego dan nafsu, tentu jawabannya
adalah untuk kebaikan kita sendiri, untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Oleh
karena itu, tidak salah bila seorang muslim yang baik diibaratkan seekor lebah.
Memberikan kemanfaatan lewat produksi madu yang dihasilkannya, tetapi di saat
yang sama juga membantu bunga-bungaan melakukan penyerbukan. Pun saat lebah
hinggap di atas ranting, dia tidak menyebabkan ranting itu patah oleh berat tubuhnya. Begitupun seorang
muslim yang baik. Mereka memberikan kemanfaatan bagi sekitar dan keberadaannya
tidak merugikan siapa pun.
Atas dasar alasan sederhana
tetapi mendalam itulah tentu secara logis kita akan mengasumsikan bahwa Islam
melarang segala bentuk kegiatan yang merugikan orang lain dan bahkan makhluk
lain. Termasuk halnya dalam korupsi. Kita tahu bahwa pengertian korupsi sendiri
adalah perbuatan menggunakan kekuasaan untuk
kepentingan sendiri, seperti menggelapkan uang atau menerima uang sogok (KBBI).
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sendiri terdapat 30 jenis
tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelompok
besar, yaitu kerugian keuangan Negara; suap-menyuap;
penggelapan dalam jabatan; pemerasan; perbuatan curang; benturan
kepentingan dalam pengadaan; dan gratifikasi. Semua jenis tindakan ini merugikan kepentingan
umum.
Tapi kenapa penggunaan kekuasaan untuk
kepentingan sendiri itu dilarang? Bukankah lumrah kalau kita punya kuasa, kita
bisa berbuat apa saja semau kita. Kapan lagi toh kita berkuasa? Apalagi banyak
orang zaman sekarang yang sudah mengentengkan perkara korupsi. Politisi, guru,
pengusaha, pedagang, bahkan sampai level pegawai rendahan pun seperti tidak mau
ketinggalan ikut terjun menikmati lumpur korupsi. Bahkan belakangan juga terungkap
kasus korupsi yang melibatkan partai yang kita kenal berbasiskan Islam yang
kental. Wajarkan korupsi?
Jawabannya tentu tidak kawan. Aturan Islam
berlaku untuk siapa saja dan kapan saja sampai dunia dan seisinya tergulung
nanti pada hari yang sudah ditentukan (kiamat). Bila pun semua orang di dunia
melakukan korupsi sampai (maaf) para ulama su’u menyerukan dan mencontohkan kita
untuk berbuat korupsi, perintah dan contoh itu batil dan tidak layak ditiru. Kenapa?
Karena sudah tertera perintah Alloh Ta’ala bagi kita untuk menjauhi perilaku
itu.
Di dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” [Al-Baqarah : 188].
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” [Al-Baqarah : 188].
Kita sudah keras dilarang Allo Ta’ala dari
melakukan kecurangan dengan memakan hak orang lain. Harta orang lain. Saat korupsi
tentu kita mengambil hak orang lain. Semisal kita adalah seorang kepala daerah dan
melakukan penggelembungan dana perbaikan sekolah, ternyata uang yang
dikeluarkan untuk perbaikan hanya separuhnya, maka separuh yang harusnya
menjadi hak anak-anak sekolah itu sudah kita makan secara batil.
Seorang ulama terdahulu Al Haitsami rahimahullah memiliki penafsiran terhadap ayat tersebut bahwa “Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu
dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan
memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mengetahui
hal itu tidak halal bagi kalian.” Perkara yang dilarang ini pun sama dengan pengertian
korupsi. Yaitu dengan kuasa berupa uang sogokan pada hakim, kita berusaha memuluskan
kepentingan kita. Ini dilarang keras dalam Al-Quran. Begitu pun dalam
Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Korupsi tadi bahwa suap-menyuap termasuk
tindak korupsi.
Lalu bagaimana dari pandangan Assunnah sendiri?
عَنْ عُمَر عَبْدِ اللهِ بْنِ قاَلَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الرَاشِى، وُاْلمُرْتَشَىِ
“Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap.” [HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190].
“Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap.” [HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190].
Derajat hadits ini menurut Syaikh Al-Albani adalah ”Shahih.” Dalam riwayat Tsauban, bahkan terdapat tambahan hadits: “Arroisy”
(...dan perantara transaksi suap)”. [HR Ahmad, 5/279]. Ini artinya pemberi suap, penerima suap
(yang korupsi), bahkan sampai perantaranya semua dilaknat oleh Rasululloh
Shallallahu alaihi wa sallam, junjungan kita tercinta. Ini menunjukkan bahwa berarti
suap (korupsi) termasuk dosa besar yang menyebabkan pelakunya dijauhkan dari rahmat Allah.
Oke, bagaimana dengan pemberian hadiah
dari orang lain karena jabatan kita? Dalam hukum yang berlaku di Indonesia hal
semacam itu dinamakan gratifikasi. Terdapat riwayat lain yang sekiranya dapat
lebih menjelaskan perkara suap-gratifikasi ini.
Dari Abu Hamid as
Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam mengangkat salah seorang dari suku Azad sebagai
petugas yang mengambil zakat Bani Sulaim. Orang memanggilnya dengan ‘Ibnul
Lutbiah. Ketika datang, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengaudit hasil
zakat yang dikumpulkannya.
Ia berkata,”Ini
harta kalian, dan ini hadiah,”
Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu?”
Lalu beliau berkhutbah, memanjatkan pujian kepada Allah azza wa jalla, Lalu beliau bersabda: “Aku telah tugaskan seseorang dari kalian sebuah pekerjaan yang Allah azza wa Jalla telah pertanggungjawabkan kepadaku, Lalu ia datang dan berkata “yang ini harta kalian, sedangkan yang ini hadiah untukku.” Jika dia benar, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, kalau benar hadiah itu mendatanginya. Demi Allah, tidak boleh salah seorang kalian mengambilnya tanpa hak, kecuali dia bertemu dengan Allah dengan membawa unta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik,” lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga nampak ketiaknya, dan berkata: “Ya Allah, telah aku sampaikan,” (rawi berkata),”Aku Lihat langsung dengan kedua mataku, dan aku dengar dengan kedua telingaku.” [HR Bukhari, 6979 dan Mustim, 1832],
Nah, sejalan dengan peraturan yang ada di
negara kita, ternyata Rasulullah SAW sudah lama melarang keras umatnya untuk menerima
gratifikasi yang termasuk perkara korupsi itu.Umat Islam sedari dulu memang sudah antikorupsi.
Kesimpulannya sudah sangat jelas. Dalam
Islam, dilarang keras umatnya melakukan korupsi dan malahan tindakan itu termasuk
dosa besar karena ancaman laknat dari Alloh Ta’ala. Siapa yang melarang? Kutipan
ayat dan petikan hadits sebelumnya sudah jelas menjawab semuanya bahwa Alloh Ta’ala
sendirilah yang melarang umat Islam dari melakukan tindak korupsi, rasululloh
pun memerintahkan kita menjauhi hal itu.
Sekarang pilihan ada di tangan kita sendiri. Apakah kita mau tunduk terhadap aturan itu sebagaimana seorang muslim sejati ahlussunnah wal jamaah (aswaja) dengan antikorupsi atau mengabaikan saja larangan itu dan menerima laknat dari Alloh Ta'ala?
Link: www.aswajanu.com
0 Comments