Hari ini (tanggal 10 Oktober) dirayakan sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Perayaan ini diinisiasi oleh WHO sejak tahun 1992 untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dunia tentang pentingnya arti kesehatan jiwa. Karena memang, kesehatan jiwa masih menjadi isu kesehatan yang dinomorsekiankan setelah kesehatan fisik.
Tema perayaan tahun ini adalah Living with Schizoprenia. Untuk masyarakat awam, istilah skizoprenia mungkin masih asing di lidah. Mereka lebih mengenal kata gila, sarap, atau kata lain yang berkonotasi sangat negatif. Bahkan kata yang disematkan untuk para penderita skizoprenia merupakan stigma tersendiri yang menakutkan bagi siapa pun di Indonesia sehingga mereka enggan mengakui dan mencari pertolongan profesional saat orang terdekat mereka menderita penyakit ini.
Diperkirakan sekitar 26 juta orang menderita skizoprenia di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 terdapat 1,7 per mil orang menderita gangguan jiwa berat (skizoprenia). Artinya ada sekitar 400.000-an orang yang hidup dengan skizoprenia. Penderita terbanyak ada di Yogyakarta, menyusul Aceh, Sulsel, Bali dan Jawa Tengah.
Skizoprenia adalah sebuah keadaan gangguan pada otak yang menimbulkan gejala seperti kehilangan kotak dari realitas, halusinasi, meyakini sesuatu yang irasional, bertindak aneh karena delusi yang dialaminya.
Penyebabnya masih belum diketahui secara pasti, tetapi seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, penyakit ini terjadi karena perubahan kimiawi dalam otak. Selain itu tekanan stres dan beberapa jenis obat rekreasional juga bisa mencetus skizoprenia pada beberapa orang.
Penanganan Skizoprenia
Penanganan skizoprenia dilakukan tidak hanya dari sisi obat psikofarmaka saja, tetapi juga butuh psikoterapi, sampai terapi yang melibatkan anggota keluarga ODS. Semasa rehabilitasi pun ODS harus dilibatkan agar aktif kembali dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan berdaya dengan memberikan pelatihan kewirausahaan.
Untuk melakukan itu semua, ODS tidak bisa sendiri saja. Pemerintah, keluarga, dan masyarakat harus bekerja sama untuk mengembalikan ODS kepada fungsinya sebagai makhluk sosial. Bukan malah mendiskriminasi dan menjauhkannya dari pergaulan sosial.
Pasung
Pengetahuan masyarakat mengenai Skizoprenia masih sangat minim. Gangguan ini masih dianggap sebagai kutukan dan alih-alih memberikan bantuan, keluarga penderita dan masyarakat kerap kali mengucilkan penderita dan memasungnya supaya tidak 'berulah.'
Kasus pasung di Indonesia masih cukup tinggi, pada tahun 2011 sekitar 20.000 penderita gangguan jiwa masih dipasung. Keluarga tidak sepenuhnya salah, mereka hanya kurang cukup pengetahuan mengenai skizoprenia dan bilapun sudah memahami bahwa ODS membutuhkan penanganan lebih lanjut, tetapi mereka takberdaya dari segi ekonomi dan pada beberapa kasus, RSJ terdekat telah penuh. Bahkan di beberapa provinsi, belum ada RSJ.
Dengan dipasung, penderita bukannya sembuh malah mentalnya akan semakin jatuh. Kaki atau tangan yang dipasung akan mengalami atrofi bahkan sampai sulit digerakkan. Dengan begitu tidak hanya mentalnya yang lumpuh, tetapi juga fisiknya.
Angka pasung di Indonesia akan tetap tinggi meskipun dari jauh hari sudah digiatkan gerakan Indonesia Bebas Pasung 2014 karena sampai sekarang pengetahuan masyarakat tentang kesehatan jiwa masih diselimuti mitos, bukan fakta, dan stigma negatif masih melekat pada diri ODS. Untuk menyingkirkan stigma dan mitos diperlukan peran aktif dari pemerintah, tenaga kesehatan, maupun masyarakat awam sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Tema perayaan tahun ini adalah Living with Schizoprenia. Untuk masyarakat awam, istilah skizoprenia mungkin masih asing di lidah. Mereka lebih mengenal kata gila, sarap, atau kata lain yang berkonotasi sangat negatif. Bahkan kata yang disematkan untuk para penderita skizoprenia merupakan stigma tersendiri yang menakutkan bagi siapa pun di Indonesia sehingga mereka enggan mengakui dan mencari pertolongan profesional saat orang terdekat mereka menderita penyakit ini.
Diperkirakan sekitar 26 juta orang menderita skizoprenia di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 terdapat 1,7 per mil orang menderita gangguan jiwa berat (skizoprenia). Artinya ada sekitar 400.000-an orang yang hidup dengan skizoprenia. Penderita terbanyak ada di Yogyakarta, menyusul Aceh, Sulsel, Bali dan Jawa Tengah.
Skizoprenia adalah sebuah keadaan gangguan pada otak yang menimbulkan gejala seperti kehilangan kotak dari realitas, halusinasi, meyakini sesuatu yang irasional, bertindak aneh karena delusi yang dialaminya.
Penyebabnya masih belum diketahui secara pasti, tetapi seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, penyakit ini terjadi karena perubahan kimiawi dalam otak. Selain itu tekanan stres dan beberapa jenis obat rekreasional juga bisa mencetus skizoprenia pada beberapa orang.
Penanganan Skizoprenia
Penanganan skizoprenia dilakukan tidak hanya dari sisi obat psikofarmaka saja, tetapi juga butuh psikoterapi, sampai terapi yang melibatkan anggota keluarga ODS. Semasa rehabilitasi pun ODS harus dilibatkan agar aktif kembali dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan berdaya dengan memberikan pelatihan kewirausahaan.
Untuk melakukan itu semua, ODS tidak bisa sendiri saja. Pemerintah, keluarga, dan masyarakat harus bekerja sama untuk mengembalikan ODS kepada fungsinya sebagai makhluk sosial. Bukan malah mendiskriminasi dan menjauhkannya dari pergaulan sosial.
Pasung
Pengetahuan masyarakat mengenai Skizoprenia masih sangat minim. Gangguan ini masih dianggap sebagai kutukan dan alih-alih memberikan bantuan, keluarga penderita dan masyarakat kerap kali mengucilkan penderita dan memasungnya supaya tidak 'berulah.'
Kasus pasung di Indonesia masih cukup tinggi, pada tahun 2011 sekitar 20.000 penderita gangguan jiwa masih dipasung. Keluarga tidak sepenuhnya salah, mereka hanya kurang cukup pengetahuan mengenai skizoprenia dan bilapun sudah memahami bahwa ODS membutuhkan penanganan lebih lanjut, tetapi mereka takberdaya dari segi ekonomi dan pada beberapa kasus, RSJ terdekat telah penuh. Bahkan di beberapa provinsi, belum ada RSJ.
Dengan dipasung, penderita bukannya sembuh malah mentalnya akan semakin jatuh. Kaki atau tangan yang dipasung akan mengalami atrofi bahkan sampai sulit digerakkan. Dengan begitu tidak hanya mentalnya yang lumpuh, tetapi juga fisiknya.
Angka pasung di Indonesia akan tetap tinggi meskipun dari jauh hari sudah digiatkan gerakan Indonesia Bebas Pasung 2014 karena sampai sekarang pengetahuan masyarakat tentang kesehatan jiwa masih diselimuti mitos, bukan fakta, dan stigma negatif masih melekat pada diri ODS. Untuk menyingkirkan stigma dan mitos diperlukan peran aktif dari pemerintah, tenaga kesehatan, maupun masyarakat awam sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.