Ryeska Fajar Respaty
Beberapa hari
belakangan Twitter didominasi trending
topic #ShameOnYouSBY. Peristiwa itu dipicu dari pengesahan RUU Pilkada yang
sampai membuat masyarakat terbelah menjadi dua kutub, pendukung Pilkada
langsung dan pendukung Pilkada taklangsung. Perdebatan dan protes mengenai
topik ini begitu serunya sampai menarik perhatian dunia dan menyeret-nyeret
nama SBY (lewat trending topic tadi).
Bahkan sampai ‘memaksa’ Presiden SBY untuk klarifikasi menggunakan sosial media
juga. Luar biasa! Sekuat itukah kuasa sosial media sebagai teknologi komunikasi
termutakhir terhadap partisipasi masyarakat dalam bidang politik Indonesia?
Sosial Media
Perkembangan
teknologi komunikasi bisa dibilang sudah mencapai puncaknya. Jika dahulu
manusia membutuhkan sarana komunikasi yang rumit, mahal, dan tidak user-friendly, berbeda dengan sekarang.
Dengan biaya kurang dari seribu rupiah, manusia bisa berkomunikasi satu dengan
yang lainnya bahkan lewat sentuhan ujung jempol saja.
Sosial media
merupakan bagian dari teknologi komunikasi terkini yang merupakan sarana bagi
manusia untuk mengekspresikan dirinya sendiri sekaligus memenuhi kebutuhan
dasarnya untuk berinteraksi dengan sesama sebagai makhluk sosial. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Pamela Rutledge, direktur Media
Psychology Research Center di
UCLA Extension:
“Humans are
hardwired to connect and relate on a personal level. They need social
validation and group membership. Technology and Internet use will support
people’s interpersonal and social goals because social needs dominate all
others.”
Sebenarnya apa itu
sosial media? Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan sosial media
sebagai kelompok aplikasi berbasis internet yang memungkinkan penciptaan dan
pertukaran user-generated content. Selain
itu, sosial media juga memiliki tiga syarat mutlak, yaitu web based, user generated content, dan social interaction. Dari definisi
tersebut kita bisa mengatakan bahwa beberapa nama terkenal seperti Facebook,
Twitter, Youtube, Path, dan Instagram sebagai bagian dari sosial media.
Semuanya berbasis web dan kontennya dapat dikelola sendiri oleh pemilik
akunnya, serta ada interaksi sosial untuk saling berkomentar atau sekedar me-like.
Seperti yang
disinggung sebelumnya, sosial media memfasilitasi kebutuhan manusia untuk
diakui. Banyaknya jumlah ‘like,’ ‘retweet’ atau ‘favorite’ membuat mereka
merasa eksistensi dirinya diakui dan merasa penting. Hal itu diamini oleh
Psikolog sosial Dr.
Susan Newman, Ph.D. Jumlah pertemanan yang ada di akun sosial media atau
jumlah follower seolah menjadi pertanda bahwa orang tersebut sangat aktif dan
berpengaruh secara sosial, meskipun ia tidak mengenal sebagian besar pengikut
atau teman di di sosial media tersebut. Jadi, kita bisa simpulkan bahwa sosial
media yang merupakan teknologi komunikasi tercanggih saat ini ternyata dapat memengaruhi
psikologis penggunanya juga.
Sosial Media di Indonesia
Pengguna
internet di Indonesia saat ini telah mencapai
lebih dari 71 juta orang. Sembilan puluh lima persen dari jumlah tersebut
menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Hanya
sedikit yang menggunakan internet untuk keperluan browsing, edukasi, atau semacamnya. Interaksi sosial memanglah
merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk masyarakat Indonesia yang
bersifat komunal dan hal tersebut disediakan oleh sosial media.
Wajar bila
sosial media banyak dilirik banyak pemilik kepentingan untuk mencapai
targetnya. Misalnya, sosial media digunakan pedagang untuk berjualan produknya,
anggota dewan atau pemimpin daerah untuk menjadi lebih dekat dengan rakyatnya,
atau artis/seniman untuk pamer karya-karyanya. Informasi melalui sosial media
dapat menyentuh hampir 70 juta orang rakyat Indonesia dan biasanya informasi
tersebut akan diteruskan ke orang lain yang tidak memiliki akun sosial media
melalui word of mouth atau percakapan
sehari-hari.
Saat ini jumlah
pengguna Twitter di Indonesia menduduki peringkat ke-5 dunia. (sebesar 29 juta
pengguna). Bahkan Jakarta termasuk merupakan kota yang paling aktif berkicau (nge-tweet). Sekitar 27% tweet publik
berasal dari pengguna yang berada di Jakarta. Jumlah pengguna Facebook di
Indonesia pun tidak kalah banyaknya dengan pengguna Twitter, yaitu berhasil
menduduki peringkat ke-4 dunia dengan jumlah pengguna 64 juta pengguna.
Jumlah pengguna
sosial media di Indonesia ini didominasi oleh anak muda. Karena memang sosial
media menyasar target pengguna usia 17 – 30 tahun. Survey MarkPlus Youth
melansir bahwa 76,7% anak muda Indonesia sangat aktif di sosial media dan
jumlah mereka mencapai 53 juta orang. Jumlah yang fantastis memang. Takheran
bila Indonesia didapuk sebagai negara pengguna sosial media ke-5 terbesar di
dunia.
Politik dan Sosial Media
Kita tidak bisa
memungkiri eratnya hubungan antara politik dengan media. Malah bisa dikatakan
bahwa media adalah corongnya politik. Berlaku adagium ‘Siapa yang menguasai
media, dialah yang menguasai politik.’ Imbasnya banyak politikus yang juga berprofesi
sebagai pengusaha ramai-ramai membuat media sendiri dan itu berbahaya bagi
demokrasi karena akan ada pemberitaan tak berimbang bahkan bohong semata demi
menyokong popularitas si pemilik modal ataupun kroni-kroninya.
Dalam pemilu
Indonesia 2014 yang baru kita laksanakan beberapa bulan lalu sangat terasa
peran dan keterlibatan media dalam pembentukan opini politik. Bahkan parahnya sedikit
sekali media yang benar-benar berimbang dalam memberitakan masing-masing kubu
yang bertarung memperebutkan hati rakyat. Hal itu terjadi karena pemimpin media
tersebut ternyata adalah politisi parpol yang bertarung juga.
Media
konvensional seperti koran dan televisi memang masih memegang peran penting
dalam pemilu 2014 lalu karena sebaran akses internet yang belum merata sampai
ke pelosok, tetapi untuk anak-anak muda dan dewasa muda yang tinggal di
kota-kota besar, peran media konvensional sudah lama tergantikan oleh sosial
media. Media konvensional sudah tidak lagi seksi karena sifat komunikasinya yang
hanya satu arah dan tidak melibatkan partisipasi aktif dari komunikannya.
Berbeda dengan
sosial media. Interaksi antara calon presiden, misalnya, dengan calon
pemilihnya dapat terjalin begitu akrab melalui sosial media. Bila dikaitkan
dengan teori psikologi yang sudah disinggung sebelumnya, calon pemilih akan
merasa sangat istimewa dan penting karena dibalas komentarnya oleh calon
pemimpinnya. Jika sudah begitu, besar kemungkinan calon pemilih itu akan memilihnya
sebagai pemimpin.
Hal ini menjadi
salah satu sebab kenapa kedua calon presiden saat itu (Prabowo dan Joko Widodo)
membuat akun atas nama pribadi, baik di Facebook maupun Twitter, agar dapat
berinteraksi dengan calon pemilih mereka dan mendorong rakyat untuk memilih
mereka.
Selain itu, hal lain
yang memengaruhi peran sosial media dalam politik adalah kecepatan perpindahan
informasinya yang begitu kilat. Se-persekian detik berita baik ataupun buruk
tentang orang atau kelompok tertentu akan menyebar secara masif di masyarakat.
Kita tentu ingat kasus Florence Sihombing. Tidak sampai satu hari, seluruh
Indonesia sudah tahu tentang statusnya yang menghina kota Yogyakarta.
Demikian juga
dalam berita politik. Orang di Papua sana bisa tahu bagaimana kabar tentang
proyek Hambalang di Bogor atau kasus pelecehan seksual oleh gubernur di
Pekanbaru. Kecepatan penerimaan informasi ini akan membuat proses komunikasi
menjadi lebih efektif dan efisien alias murah. Meskipun kelemahannya, sekali
berita itu bergerak viral melalui sosial media, kita tidak akan mampu
menghentikan atau mengontrolnya.
Kita melihat
bagaimana sosial media berperan sangat dahsyat dalam Revolusi Arab tahun 2011
di Mesir, Suriah, Tunisia, Bahrain, dan Libia. Bahkan otoritas di sana sampai
harus memblokir sosial media seperti Twitter dan Facebook untuk menghentikan
penyebaran berita atau ajakan makar pada negara. Tak hanya negara Arab, di
Eropa seperti London pada tahun yang sama juga terjadi kerusuhan yang
digerakkan sosial media BlackBerry Messenger. Demikian juga yang terjadi pada Wall
Street Amerika Serikat (#OccupyWallStree).
Bagaimana dengan
di Indonesia? Di Indonesia sosial media sangat berpengaruh dalam membentuk
opini, termasuk opini politik. Beberapa isu politik di Indonesia malah sudah
berkali-kali masuk dalam Trending Topic
Twitter dunia. Contoh yang terbaru adalah tagar #ShameOnYouSBY atau
#ShamedByYouSBY. Mengingat pengguna sosial media kebanyakan adalah anak muda,
tidak heran banyak isi percakapan di dalamnya yang terdorong dari luapan emosi
amarah sehingga muncul dua tagar itu yang sebenarnya mempermalukan diri kita
sendiri di depan dunia.
Sosial media
juga berperan dalam peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam bidang
politik. Terbukti, angka golput pada Pemilu 2014 menurun sebesar 4,12 persen.
Sebenarnya tidak heran kalau percakapan tentang Pemilu mendominasi percakapan
di media sosial, meskipun masih banyak diwarnai dengan percakapan negatif
(kampanye hitam).
Dalam kaitannya
dengan UU Pilkada yang telah disebutkan di atas, masyarakat kembali
terpolarisasi menjadi dua kubu seperti saat pilpres bulan Juli lalu. Sosial
media sangat berperan dalam hal ini karena tiap waktu masing-masing pendukung
opini mengenai UU Pilkada itu selalu memasang status atau membuat tweet tentang
pendapatnya mengenai UU Pilkada. Ada juga yang sampai membuat petisi daring di
internet untuk menolak UU tersebut. Masyarakat Indonesia dibombardir oleh
berita dari dua kubu itu. Entah mana yang benar mana yang salah. Kembali semua
diserahkan kepada rakyat sebagai pemilik akun sosial media itu. Tentunya telaah
pendapat dua kubu itu harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan atas dasar
benar-benar demi kepentingan rakyat, bukan semata kepentingan koalisi yang
sifatnya hanya sementara saja. Kita pun sebagai rakyat, suka tidak suka,
dituntut untuk lebih cerdas dalam menyaring berita yang kita baca di linimasa
akun sosial media kita sehingga tidak terprovokasi untuk melakukan gerakan
sosial yang salah sasaran.
Sosial media
memang memegang peranan yang sangat penting dalam bidang politik di era digital
saat ini. Siapa yang paling aktif dan atraktif di sosial medialah yang akan
menjadi penguasa opini masyarakat. Sudah terbukti di beberapa negara Arab dan
Eropa sana, sosial media dapat mendorong terjadinya revolusi dan kerusuhan. Akan
tetapi, perlu tetap diingat bahwa kebenaran konten berita yang disebar oleh
sosial media tetaplah harus menjadi prioritas utama. Bukan sekedar fitnah atau
pencitraan semata yang hanya menghasilkan gonjang-ganjing politik yang tidak
bermakna bagi kemakmuran, kesejahteraan, ketentraman, dan keamanan negeri
tercinta kita ini.