Belajar dari Para Difabel

By RFR - Desember 27, 2012


Sebenarnya tidak ada ide yang melintas saat aku memutuskan untuk mulai menuliskan tentang disabilitas. Jujur, aku jarang berinteraksi dengan teman-teman difabel. Interaksi yang aku maksud di sini adalah dalam artian interaksi personal yang dari hati ke hati, semacam pertemanan. Boleh dibilang pergaulanku memang tidak luas. Tidak ada di antara teman-temanku yang menyandang disabilitas karena secara fisik mereka semua normal, sempurna. Begitu juga dengan lingkungan sekitarku, mereka semua memiliki fisik yang normal, tidak ada yang menyandang disabilitas. Karena sebab itulah yang mungkin membuat aku tidak bisa membayangkan betapa sulit dan beratnya menjadi seorang difabel.

“My life is more difficult than you think because I’m smaller than others. When I got hurt (got shot), the hole is bigger…because I’m smaller”―Yang, The Expendables.
Kutipan bebas di atas aku ambil dari percakapan antara Yang (diperankan oleh Jet Lee) dengan Barney (diperankan oleh Sylvester Stalone). Yang meminta kenaikan honor dengan alasan kondisi fisiknya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan personel tim lainnya. Kontan saat percakapan itu berlangsung aku tertawa dan akhirnya berpikir ada benarnya juga ucapan Yang. Hidup pasti akan lebih sulit bagi mereka yang bertubuh mungil.

Saat berjalan bersama teman-temannya yang notabene Ras Kaukasian―tubuh tinggi besar―Yang harus berjalan lebih cepat agar langkahnya tidak tertinggal. Saat bertarung dengan penjahat yang juga Kaukasian, Yang harus memukul lebih keras supaya musuhnya jatuh terkapar. Dan hal yang paling mengenaskan adalah kalau Yang terpukul oleh musuh-musuhnya, rasanya pasti akan jauh lebih sakit karena tenaga musuh yang jauh lebih besar.

Bila pernyataan itu aku kaitkan dengan kehidupan para difabel bagaimana? Terus terang aku tidak pernah terpikir tentang hal ini. Tapi yang pasti, akan sangat berat bagi seorang seniman difabel untuk melukis dengan kakinya, sedangkan dengan adanya kedua tangan saja aku tidak pandai melukis. Akan sangat sulit bagi seorang atlet difabel memacu kursi rodanya dengan penuh tekad, sedangkan aku membawakan belanjaan bulanan yang beratnya kurang dari satu kilo saja sudah sering mengeluh.
Teman-teman difabel yang tuna rungu tentu saja akan sangat mengalami kesulitan komunikasi dengan rekannya yang sempurna pendengarannya, tapi ternyata itu tidak menjadi soal bagi seorang Angkie Yudistia yang memutuskan menjalani pendidikannya di sekolah umum dan bahkan meneruskan pendidikan tingginya di bidang periklanan di London School of Public Relation, lalu meneruskan S2 bidang komunikasi pemasaran di kampus yang sama lewat program akselerasi pula! Padahal kita tahu kalau bidangnya itu memerlukan kemampuan komunikasi yang mumpuni, tetapi terlepas dari kekurangan fisiknya, Angkie terus melaju untuk mencapai mimpinya dan tidak mengindahkan ejekan-ejekan yang pernah dilontarkan teman-temannya. Aku pernah menyaksikan tayangan wawancaranya di MetroTV di acara Young On Top! Awalnya, aku benar-benar tertegun melihat Angkie dan kepercayaan dirinya yang sedemikian besar hingga akhirnya bisa mencapai prestasi seperti sekarang. Bayangkan, seorang penyandang tunarungu menjadi None Jakarta Barat!

Bagaimana dengan aku? Sungguh, aku malu untuk mengakui kalau aku pernah hampir putus asa untuk mencapai mimpiku sebagai penulis hanya karena alasan beberapa kali tulisanku ditolak media massa dan kalah dalam beberapa perlombaan menulis. Padahal fisikku lengkap dan masih bisa berfungsi sempurna! Aih, betapa lemahnya!

Aku membayangkan bila aku berada dalam posisi teman-teman yang difabel, bukan tidak mungkin aku malah akan menarik diri dan menyumpah serapahi hidup, alih-alih berbuat sesuatu yang bisa membuat hidupku lebih berarti. Atau bila kita lihat perilaku para koruptor itu, mereka semua berfisik normal, tetapi kesempurnaan fisik itu malah membuat mereka seakan-akan lupa diri sehingga lebih memilih jalan keliru sebagai menjadi penyandang disabilitas moral! Na’udzubillah.

Barangkali itulah kebijakan Allah yang aku coba maknai kali ini, aku diberikan fisik sempurna karena Allah tahu aku tidak akan sanggup menerima anugerah sedemikian hebat dari-Nya sebagaimana yang Dia berikan kepada teman-teman penyandang disabilitas dan Allah memberikan mereka anugerah itu karena Allah sudah merancang bahkan sampai ke level DNA mereka untuk kelak menjadi pribadi-pribadi penakluk kehidupan dengan sifat yang pantang menyerah dan memasang tekad baja sebagai baju zirah mereka.

Ya, aku akui bahwa perenungan ini aku ambil tanpa benar-benar secara personal bersahabat dengan teman-teman difabel. Tapi bukankah siapa saja yang menginsipirasi sedemikian rupa kepada orang lain, seperti halnya Angkie terhadapku, adalah seseorang yang layak disebut sebagai sahabat meski tidak pernah sekalipun kami berjumpa? Dan aku berharap bisa bertemu Angkie suatu saat nanti ketika aku benar-benar meraih mimpiku dan menjabat tangannya erat-erat sambil mengatakan, "terimakasih inspirasinya, sahabat!"

Tentu saja perenungan ini tidak berhenti begini saja. Aku harus berbuat sesuatu untuk hidupku yang masih kacau ini, tentang arti sebuah semangat, tentang arti perjuangan hidup. Bahwa seberapa pun terpuruknya kita ketika menghadapi suatu kesulitan hidup, asalkan ada semangat untuk bangkit dan berjuang, kerahkanlah segala apa yang kita punya! Saat kedua tangan kita masih ada, gunakanlah untuk “meninju” masalah-masalah dalam hidup! Mereka, para difabel, bisa, aku juga harus bisa!

Kemudian, bila Yang di dalam film The Expendables meminta bayaran honor dari Barney dua kali lipat dibandingkan rekan-rekannya yang jauh lebih tinggi, aku berharap Allah―Sang pemberi honor terbesar di dunia―memuliakan teman-teman penyandang disabilitas dengan ganjaran pahala lebih besar dari pada kami yang normal ketika melakukan kebaikan-kebaikan. Amin.

  • Share:

You Might Also Like

1 Comments

  1. Difabel memang seringkali mengalami banyak hambatan, bahkan diskriminasi. Oleh karena itu diperlukan adanya affirmative action untuk difabel. Btw, tulisan yang menarik. Salam kenal :D

    BalasHapus