Merawat ‘Suara’ dari Masa Lalu di Cagar Budaya Rumah Peneleh H.O.S Tjokroaminoto

By Ry - November 20, 2019

Suara tidak akan pernah mati. Hal itulah yang diyakini oleh Guglielmo Marconi, salah seorang pionir di bidang transmisi radio dan peraih Nobel Fisika tahun 1909. Keyakinan ini berangkat dari teori bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, tetapi dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lain. Suara yang merupakan salah satu bentuk energi pun tidak akan dapat dimusnahkan. Suara setelah diperdengarkan, lama kelamaan akan melemah dan tak tertangkap lagi oleh telinga manusia. Jika saja manusia bisa membuat alat tertentu yang dapat menangkap suara yang melemah tadi, artinya kita mampu mendengar kembali suara yang berasal dari di masa lalu.

Bayangkan. Kita dapat mendengar suara para Nabi ketika berkhutbah di zaman dahulu, suara Gajah Mada ketika mengikrarkan Sumpah Palapa, atau barang kali suara H.O.S Tjokroaminoto, De Ongekroonde van Java, Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota, saat berdiskusi dengan murid-muridnya di kediamannya di Jl. Peneleh Gg VII, Surabaya. Menakjubkan!

Rumah Peneleh H.O.S Tjokroaminoto (koleksi pribadi)

Jika alat itu ada, semua lokasi peninggalan sejarah akan semakin wajib hukumnya untuk dijaga. Karena di mana lagi kita dapat menangkap suara bersejarah selain dari lokasi sumbernya yang juga bersejarah? Sungguh lawatan ke museum yang pada mulanya memang adalah sebuah tempat yang bersejarah akan semakin meninggalkan kesan mendalam bagi para pengunjungnya.

Semisal kunjungan ke Rumah Peneleh yang dibangun sekitar tahun 1870-an milik H.O.S Tjokroaminoto. Rumah sederhana di tengah pemukiman padat penduduk ini diresmikan menjadi Museum H.O.S Tjokroaminoto pada 27 November 2017 oleh Ibu Tri Rismaharini, walikota Surabaya periode itu. Rumah Peneleh adalah cagar budaya Indonesia yang jadi  saksi bisu lahirnya para tokoh nasional yang merupakan murid-murid H.O.S Tjokroaminoto yang akhirnya berpisah jalan ideologis: Soekarno dengan nasionalismenya, Semaoen dengan sosialisme-marxismenya, dan Kartosuwiryo dengan ideologi Islam-nya.

Peresmian Rumah Peneleh (Koleksi pribadi)

Tjokroaminoto adalah tokoh pemimpin organisasi Serikat Islam (SI) yang sangat ditakuti oleh kolonial Belanda. Sebagai sebuah organisasi yang berbasis Islam, ekonomi, sosial, dan kerakyatan, keanggotaan SI meluas ke semua kalangan dan luar Pulau Jawa, melampui apa yang dicapai Boedi Oetomo yang hanya beranggotakan para priyayi Jawa saja. Banyak orang kala itu menilai bahwa Tjokroaminoto adalah Ratu Adil yang akan membawa perubahan nasib bagi rakyat yang telah sekian lama dijajah Belanda. Maka berkunjung ke Rumah Peneleh akan membuka mata kita tentang bagaimana rumah itu diisi dengan aura semangat H.O.S Tjokroaminoto hingga menginspirasi murid-muridnya yang mengekos di rumahnya itu hingga jadi ‘orang besar’ perintis kemerdekaan RI.


Sebagian anak kos Rumah Peneleh (Koleksi pribadi)

Terhitung selain Semaoen, Soekarno, dan Kartosoewiryo, ada Tan Malaka, KH Ratu Bagus Ahmad Syar’I Mertakusuma sang pelopor gerakan Pituang Pitululung/Pitung di Tanah Betawi, sampai Buya Hamka pernah menjadi murid H.O.S Tjokroaminoto.

Barang kali jika pada akhirnya alat penangkap suara masa lalu itu kelak berhasil diciptakan, saat kita memasuki halaman rumah yang dipagari kayu berwarna hijau itu, kita akan mendengar jelas suara H.O.S Tjokroaminoto ketika memanggil anak kos baru ke ruang tengah karena ingin mengajarkan perihal trilogi masyhurnya, yaitu setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, dan sepintar-pintar siasat! Tiga pilar yang mesti dimiliki anak muda yang relevan bahkan sampai zaman sekarang: tauhid, ilmu yang tinggi, dan strategi untuk maju.

Menyusuri lorong pendek dalam rumah itu, kita akan disuguhi oleh koleksi buku milik H.O.S Tjokroaminoto dan foto-foto anak kos di rumah Peneleh itu. Di bawah foto ada sedikit penjelasan mengenai siapa pemilik wajah-wajah bersahaja di dinding itu. 

Koleksi buku Tjokroaminoto (Koleksi pribadi)

Ketika semakin memasuki area rumah bagian belakang, naiklah melalui tangga kecil yang cukup curam ke kamar atas. Itu adalah kamar kos anak-anak didik H.O.S Tjokroaminoto yang dulunya hanya diberi sekat-sekat saja. Kamar itu pernah sesak dihuni anak-anak muda pengagum H.O.S Tjokroaminoto, salah satunya adalah Soekarno muda. Kondisi kamar itu seperti yang pernah diceritakan Bung Karno dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams, “Kamarku tidak pakai jendela sama sekali. Dan tidak berpintu. Di dalam sangat gelap sehingga aku terpaksa menghidupkan lampu terus-menerus sejalipun di siang hari.

Tangga menuju kamar Soekarno muda (Koleksi pribadi)

Sstt, dengarkan baik-baik! Berbekal alat tadi, kita dapat menangkap kembali gelombang suara milik Soekarno muda ketika tak letih teriak berlatih pidato di depan cermin dalam kamar kecilnya itu karena terbius kata-kata sang guru.
“Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan, dan bicaralah seperti orator!”

Sayup-sayup, kita akan mendengar suara tawa Kartosoewiryo, Alimin, Muso, dan lainnya ketika terbangun karena suara teriakan pidato Soekarno muda yang mereka anggap seperti orang gila. Bisa jadi kita ikut tertawa bersama para tokoh nasional itu ketika mendengar pidato Bung Karno yang masih berusia belasan tahun kala itu. Duhai! Betapa rumah itu menjadi saksi pertumbuhan seorang tokoh nasional yang tadinya ditertawakan menjadi seseorang yang mampu membakar semangat rakyatnya ketika berkata, “Yoo, ayoo, kita ganjang..Ganjang…Malaysia!” pada tanggal 27 Juli 1963.

Ayo kita turun lagi ke ruangan utama! Ada sebuah kamar yang tidak terlalu luas. Itulah kamar milik H.O.S Tjokroaminoto. Di kamar itu, kita bisa saja mendengar bisikan Tjokroaminoto kepada anaknya, Sii Oetari, ketika menanyakan kesediaannya untuk dinikahkan dengan Soekarno. Kita tahu apa jawaban Sri Oetari soal itu, meski pernikahan mereka akhirnya hanya bertahan selama 3 tahun. Konon mereka sebenarnya tidak saling cinta karena satu sama lain menghormati keinginan Tjokroaminoto yang baru saja ditinggal meninggal oleh istrinya. Tak lama setelah perceraian itu, Soekarno menikahi ibu kosnya ketika kuliah di Bandung, Inggit Garnasih. Tapi, sudahlah kita tidak perlu bicara soal gosip di rumah yang bersahaja ini!

Mari kita kembali saja ke ruang tamunya! Begitu melimpah gelombang suara yang bisa kita tangkap di sana. Banyak tokoh-tokoh besar yang dulu sering bertandang ke rumah Peneleh itu. Ada suara K.H. Ahmad Dahlan ketika memberikan tabligh mengenai Islam. Pencerahan yang diam-diam didengarkan Soekarno muda sehingga ia tertarik mengikuti K.H. Ahmad Dahlan dan memutuskan menjadi anggota serta pengurus Muhammadiyah.

Ada pula percakapan antara Kartosoewiryo ketika berdiskusi dengan Tjokroaminoto, mengenai tema artikel yang akan dimasukkan dalam harian Fadjar Asia, surat kabar terbitan sang gurunya itu. Tulisan-tulisan milik Kartosoewiryo, sang mantan mahasiswa kedokteran, mengenai penentangannya terhadap sikap bangsawan Jawa yang bekerjasama dengan Belanda yang begitu radikal dan cerdas, membuat ia terpilih menjadi asisten pribadi sang guru.

Demikianlah. Rumah ini begitu penuh dengan aura positif, energi kebangkitan bangsa, dan energi mentoring politik demi agenda memerdekakan bangsa Indonesia dari segala penjajahan, meski Tjokroaminoto sendiri tidak sempat merasakan udara segar kemerdekaan Indonesia. Para pemuda yang digembleng dalam rumah ini oleh Sang Guru Bangsa memang beliau siapkan untuk menjadi pemimpin-pemimpin terbaik untuk Indonesia.

Suara-suara dari masa lalu itu menyadarkan kita mengenai pentingnya mengembangkan diri sendiri untuk kepentingan bangsa dan negara. Betapa kita beruntung memiliki alat penangkap suara tadi! Pun imbasnya, nasionalisme kita tumbuh menjadi begitu pesat.

Seorang pengunjung di depan Rumah Peneleh (Koleksi pribadi)

Tapi, tunggu.

Sayangnya, alat tadi hanya fantasi yang terlalu manis dan romantis untuk jadi realita. Pada kenyataannya, suara tidaklah bisa bertahan selamanya. Secara fisika, itu tidak mungkin. Guglielmo Marconi salah. Ketika suara keluar dari mulut kita, gelombangnya akan segera menyebar ke udara ke segala arah dan semakin menjauh. Saat energi dari suara dipindahkan ke molekul udara, getarannya akan semakin berkurang dan pada akhirnya suara akan menghilang. Tak ada cara untuk mengembalikannya lagi.

Rumah Peneleh (Koleksi pribadi)

Dengan demikian, tanpa adanya suara dari masa lalu yang dapat ditangkap oleh alat ajaib tadi, apakah kita akan tetap tertarik mengunjungi dan merawat cagar budaya Indonesia, seperti Rumah Tjokroaminoto? Apakah kita tergerak untuk melakukan sesuatu bagi negara besar bernama Republik Indonesia yang kemerdekaannya telah diupayakan dengan darah dan keringat para pahlawan seperti H.O.S Tjokroaminoto tadi?

Kemerdekaan terlalu berharga untuk diisi sekedar menuliskan komentar julid tentang selebriti yang gonta-ganti pasangan atau asyik menonton konten sosmed berupa prank-mukbang yang jauh dari kategori sebagai nutrisi otak dan hati kita sebagai anak muda. Kita perlu sekali untuk melihat jauh ke belakang dan ‘mendengar’ suara-suara para pahlawan agar semangat mereka larut dan jadi bagian dari aliran darah kita juga. Lalu dengan lantang kita ‘rawat’ suara-suara tadi dalam bentuk aksi karya apapun yang kita bisa dan jangan biarkan musnah. Tak mesti menjadi juara. Entah lewat aktivitas positif dalam bidang keolahragaan, keakademisan, atau menjadi relawan membantu sesama yang kurang beruntung. Apa saja! Asal jangan biarkan suara dan karya mereka ditinggalkan, lalu teronggok berdebu dalam museum-museum atau tercecer dalam halaman-halaman buku sejarah. Bisa, kan?

*********************************

Ayo ikuti kompetisi "Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!" dan inspirasikan orang lain untuk ikut merawat cagar budaya Indonesia! 


  • Share:

You Might Also Like

0 Comments