Mobilitas adalah hal penting bagi kaum urban, termasuk kaum urban
sekitar Jakarta. Ibukota kita memiliki angka penduduk yang jauh berbeda antara
siang dan malam hari. Di siang hari ada sekitar 14,5 juta penduduk dan malam sekitar
10,2 juta jiwa.
Jelas bahwa penduduk di siang harinya lebih banyak karena adanya pekerja yang
berasal dari kota-kota penyangga sekitar Jakarta. Kebutuhan akan moda
transportasi yang nyaman, cepat, dana tentu bebas macet, mutlak diperlukan.
Sayangnya, menurut survei yang diadakan Uber pada tahun 2017,
kemacetan di Jakarta semakin mengganas. Rata-rata pemilik mobil Jakarta
menghabiskan 68 menit untuk terjebak dalam kemacetan. Diperkirakan tahun 2020
Jakarta akan macet total jika tidak terdapat gebrakan berarti mengenai
pengaturan moda transportasi. Masalah transportasi dan kemacetan inilah yang
dikatakan oleh beragam studi dapat dijawab oleh moda transportasi yang
terintegrasi.
Ide mengenai transportasi massal yang cepat di kota Jakarta sebenarnya
sudah muncul sejak tahun 1985 di masa orde baru. Kala itu masalah kemacetan
sudah menjadi masalah yang cukup merepotkan. Akan tetapi, pemerintahan saat itu
masih memilih beberapa alternatif lain untuk mengatasi kemacetan Jakarta, di
antaranya dengan melarang becak beroperasi dan membuang ribuan becak yang
dianggap sebagai biang kemacetan ke Teluk Jakarta. Selain itu, pembangunan
jalur kereta layang, jalan layang, dan jalan tol dalam kota juga dipilih
sebagai alternatif lainnya. Hal ini membuat ide moda transportasi massal yang
terintegrasi mandek sebatas wacana, meskipun pada tahun 1993 studi Consolidated
Network Plan (CNP) merekomendasikan Mass Rapid Transit (MRT) atau angkutan massal cepat sebagai pilihan yang
paling layak bagi Jakarta.
Entah mengapa rasanya mustahil untuk mewujudkan ide
tersebut. Apalagi krisis ekonomi 1998 menghantam Indonesia dan realisasi studi
CNP tersebut yang sedianya direncanakan berjalan tahun 1997 menjadi terhambat. Jakarta
yang termasuk dalam kota metropolitan dengan tingkat kemacetan level dunia
(tahun 2019 saja masuk dalam urutan ke-17), harus berpuas diri dengan metode
pengaturan sistem 3 in 1, dan kini lewat aturan ganjil-genap. Meski sejak tahun
2004, TransJakarta telah hadir sebagai sistem transportasi Bus Rapid
Pertama di Asia Tenggara. Masalah kemacetan seperti belum menemukan formula pas
untuk penyelesaiannya.
Jakarta kalah dari Singapura yang sudah menggunakan MRT
sebagai moda transportasinya sejak tahun 1987 dan memiliki LRT sejak tahun
1999. Thailand bahkan sudah mendahului memiliki kereta subway tahun 2004. Tahun
2005, Jakarta hanya memiliki transJakarta dan rencana pembangunan monorel oleh
Gubernur Sutiyoso, yang lagi-lagi tak sampai ke fase ekesekusi. Tiang-tiang
teronggok di Senayan menjadi saksi mandeknya rencana proyek ini.
Akhirnya tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memastikan bahwa proyek MRT mesti dijalankan dan menjadi proyek nasional dengan
kesepakatan pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah DKI Jakarta. Setelah proses pendirian PT MRT tahun 2008, desain teknis
dan pengadaan lahan tahun 2009-2010, pengerjaan konstruksi MRT dimulai tahun
2012 di masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dengan pembangunan
jalur MRT Fase 1 dari Terminal Lebak Bulus ke Bundaran Hotel Indonesia. Jalur yang
memang menjadi rute yang banyak dilalui kaum urban menuju area perkantoran di
pusat Jakarta.
MRT Fase 1 ini sudah mulai beroperasi sejak tanggal
24 Maret 2019 dengan waktu tempuh 30 menit antara HI dan Lebak Bulus dan waktu
keberangkatan tiap 5-10 menit sekali. Tiketnya pun dibanderol dengan harga yang
terjangkau. Mulai dari Rp. 3.000,- untuk jarak terdekat sampai Rp. 14.000,-
untuk jarak terjauh.
Resmi pula warga Jakarta telah memiliki moda
transportasi dengan mobilitas tinggi. Tidak perlu terjebak dalam kemacetan
Jakarta dan dengan mudahnya terhubung dengan beragam moda transportasi lain,
seperti TransJakarta dan KRL Commuter Line. Demikian pula MRT Fase 2
rute Bundaran HI-Kota dan Fase 3 rute Kalideres-Cempaka Baru diharapkan dapat
beroperasi pada tahun 2024. Ini seperti mimpi yang jadi nyata!
Kemenhub menegaskan bahwa biaya proyek MRT ini jauh lebih
sedikit dibandingkan biaya kerugian akibat kemacetan di Jakarta. Lagipula menteri
perhubungan periode lalu, Budi Karya Sumadi, menegaskan bahwa MRT hanyalah satu
solusi untuk mengatasi kemacetan ibukota, masih akan ada lagi gebrakan lain
termasuk perluasan rute MRT hingga daerah sub urban untuk mengurangi penggunaan
kendaraan pribadi, biang kemacetan selama ini. Semua demi kenyamanan penduduk
dalam melakukan mobilisasi menuju tempat kerja dan tempat mereka beristirahat. “Kemewahan”
MRT inilah yang kiranya akan juga dialami beberapa kota lain di Indonesia,
seperti Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta. Semoga!
Website Kemenhub: www.dephub.go.id
x
0 Comments