MRT Jakarta : Mimpi Kaum Urban yang Jadi Nyata

By Ry - November 12, 2019

Mobilitas adalah hal penting bagi kaum urban, termasuk kaum urban sekitar Jakarta. Ibukota kita memiliki angka penduduk yang jauh berbeda antara siang dan malam hari. Di siang hari ada sekitar 14,5 juta penduduk dan malam sekitar 10,2 juta jiwa. Jelas bahwa penduduk di siang harinya lebih banyak karena adanya pekerja yang berasal dari kota-kota penyangga sekitar Jakarta. Kebutuhan akan moda transportasi yang nyaman, cepat, dana tentu bebas macet, mutlak diperlukan.

Sayangnya, menurut survei yang diadakan Uber pada tahun 2017, kemacetan di Jakarta semakin mengganas. Rata-rata pemilik mobil Jakarta menghabiskan 68 menit untuk terjebak dalam kemacetan. Diperkirakan tahun 2020 Jakarta akan macet total jika tidak terdapat gebrakan berarti mengenai pengaturan moda transportasi. Masalah transportasi dan kemacetan inilah yang dikatakan oleh beragam studi dapat dijawab oleh moda transportasi yang terintegrasi.

Ide mengenai transportasi massal yang cepat di kota Jakarta sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1985 di masa orde baru. Kala itu masalah kemacetan sudah menjadi masalah yang cukup merepotkan. Akan tetapi, pemerintahan saat itu masih memilih beberapa alternatif lain untuk mengatasi kemacetan Jakarta, di antaranya dengan melarang becak beroperasi dan membuang ribuan becak yang dianggap sebagai biang kemacetan ke Teluk Jakarta. Selain itu, pembangunan jalur kereta layang, jalan layang, dan jalan tol dalam kota juga dipilih sebagai alternatif lainnya. Hal ini membuat ide moda transportasi massal yang terintegrasi mandek sebatas wacana, meskipun pada tahun 1993 studi Consolidated Network Plan (CNP) merekomendasikan Mass Rapid Transit (MRT) atau angkutan massal cepat sebagai pilihan yang paling layak bagi Jakarta.

Entah mengapa rasanya mustahil untuk mewujudkan ide tersebut. Apalagi krisis ekonomi 1998 menghantam Indonesia dan realisasi studi CNP tersebut yang sedianya direncanakan berjalan tahun 1997 menjadi terhambat. Jakarta yang termasuk dalam kota metropolitan dengan tingkat kemacetan level dunia (tahun 2019 saja masuk dalam urutan ke-17), harus berpuas diri dengan metode pengaturan sistem 3 in 1, dan kini lewat aturan ganjil-genap. Meski sejak tahun 2004, TransJakarta telah hadir sebagai sistem transportasi Bus Rapid Pertama di Asia Tenggara. Masalah kemacetan seperti belum menemukan formula pas untuk penyelesaiannya.

Jakarta kalah dari Singapura yang sudah menggunakan MRT sebagai moda transportasinya sejak tahun 1987 dan memiliki LRT sejak tahun 1999. Thailand bahkan sudah mendahului memiliki kereta subway tahun 2004. Tahun 2005, Jakarta hanya memiliki transJakarta dan rencana pembangunan monorel oleh Gubernur Sutiyoso, yang lagi-lagi tak sampai ke fase ekesekusi. Tiang-tiang teronggok di Senayan menjadi saksi mandeknya rencana proyek ini.




Akhirnya tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memastikan bahwa proyek MRT mesti dijalankan dan menjadi proyek nasional dengan kesepakatan pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah DKI Jakarta. Setelah proses pendirian PT MRT tahun 2008, desain teknis dan pengadaan lahan tahun 2009-2010, pengerjaan konstruksi MRT dimulai tahun 2012 di masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dengan pembangunan jalur MRT Fase 1 dari Terminal Lebak Bulus ke Bundaran Hotel Indonesia. Jalur yang memang menjadi rute yang banyak dilalui kaum urban menuju area perkantoran di pusat Jakarta.

MRT Fase 1 ini sudah mulai beroperasi sejak tanggal 24 Maret 2019 dengan waktu tempuh 30 menit antara HI dan Lebak Bulus dan waktu keberangkatan tiap 5-10 menit sekali. Tiketnya pun dibanderol dengan harga yang terjangkau. Mulai dari Rp. 3.000,- untuk jarak terdekat sampai Rp. 14.000,- untuk jarak terjauh.

Resmi pula warga Jakarta telah memiliki moda transportasi dengan mobilitas tinggi. Tidak perlu terjebak dalam kemacetan Jakarta dan dengan mudahnya terhubung dengan beragam moda transportasi lain, seperti TransJakarta dan KRL Commuter Line. Demikian pula MRT Fase 2 rute Bundaran HI-Kota dan Fase 3 rute Kalideres-Cempaka Baru diharapkan dapat beroperasi pada tahun 2024. Ini seperti mimpi yang jadi nyata!


Kemenhub menegaskan bahwa biaya proyek MRT ini jauh lebih sedikit dibandingkan biaya kerugian akibat kemacetan di Jakarta. Lagipula menteri perhubungan periode lalu, Budi Karya Sumadi, menegaskan bahwa MRT hanyalah satu solusi untuk mengatasi kemacetan ibukota, masih akan ada lagi gebrakan lain termasuk perluasan rute MRT hingga daerah sub urban untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, biang kemacetan selama ini. Semua demi kenyamanan penduduk dalam melakukan mobilisasi menuju tempat kerja dan tempat mereka beristirahat. “Kemewahan” MRT inilah yang kiranya akan juga dialami beberapa kota lain di Indonesia, seperti Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta. Semoga!


Website Kemenhub: www.dephub.go.id

x

  • Share:

You Might Also Like

0 Comments