Lelaki tua itu dengan sabar masih menunggu di
depan loket pengambilan obat. Dadanya yang sempit dan tubuh kurusnya tertutup
oleh kemeja lusuh yang berwarna biru pudar dan bagian lengannya sengaja
digulung. Kopiah berwarna hitam di kepalanya sedikit miring. Sesekali dia terbatuk
sambil menutupi mulutnya dengan sehelai sapu tangan yang terus ia genggam di
tangan kanannya. Ia datang sendiri ke Puskesmas. Bapak itu duduk tepat di
samping saya saat ingin menebus obat di Puskesmas dekat kos saya beberapa tahun
lalu. Dari percakapan sesama pasien dengan bapak itu, yang saya lupa namanya,
saya tahu bahwa beliau menderita tuberkulosis. Entah kenapa saat itu saya tidak terpikir sama sekali untuk
sedikit menjauh supaya tidak tertular. Mungkin karena sedang pusing-pusingnya
jadi tidak sempat berpikir yang aneh-aneh (Saat itu saya sedang migrain).
Dari penampilan beliau, terlihat
bahwa beliau sama seperti saya saat itu yang baru lulus kuliah, pasien dengan
uang pas-pasan untuk menebus kesehatan, bahkan mungkin termasuk pasien kurang
mampu. Pada tahun itu obat tuberkulosis di Puskesmas masih harus bayar. Meski hanya
beberapa ribu, tetapi tetap saja, nominal itu bisa digunakan untuk hal lain
yang masih menjadi kebutuhan primer si bapak.
Lain lagi dengan kisah mertua teman
saya yang menderita TB. Beliau berdomisili di Karawang. Tidak seperti di
jakarta, di daerah itu seorang penderita TB bisa mengeluarkan biaya sampai
ratusan ribu untuk pengobatannya. Kenalan saya yang lain pernah menderita TB,
dan saat itu dia tidak berobat di pusat pelayanan kesehatan milik pemerintah
sehingga biaya berobatnya membengkak sampai jutaan. Untuk uji lab, dia mengaku
mengeluarkan dana sampai delapan ratus ribuan, dan itu pun sudah beberapa tahun
lalu. Entah berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan bila berobat TB di
instansi swasta.
Hingga kini, kasus TB masih terus
saja terjadi dan tentu saja menjadi masalah kesehatan masyarakat yang tinggi di
Indonesia. Terbukti Indonesia masih menduduki peringkat 4 dengan jumlah
penderita TB terbesar. Masih banyak pula pasien-pasien seperti bapak tadi yang
berasal dari kalangan menengah ke bawah. Apalagi pola hidup sehat, lingkungan
yang tidak sehat, dan gizi yang buruk mendorong penyebaran dan pemburukan
kondisi penyakit ini.
Sebuah
penelitian menyebutkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan
penyakit ini di negara-negara Uni Eropa adalah sekitar 7848 Euro per orang[1], sedangkan di
Indonesia biaya pengobatan TB biasa (yang belum mencapai sakit level TB
resisten) adalah dua juta dan TB yang resisten terhadap pengobatan senilai ratusan
juta[2]. Jumlah yang
fantastis Ini tentu menjadi masalah buat para penderita TB yang memang
sebagian besar berasal dari kalangan tidak mampu. Bila para penderita TB
dibiarkan begitu saja tanpa dibantu pengobatannya karena terkendala biaya,
bukan tidak mungkin peringkat Indonesia bisa naik lagi ke posisi 3 besar negara
dengan jumlah penderita TB terbanyak di dunia.
Namun,
kabar baiknya, pemerintah telah memperhitungkan itu semua dan berkomitmen untuk
pengobatan penderita TB. Artinya, obat TB sudah bisa didapatkan secara GRATIS
untuk para penderita TB biasa maupun TB dengan resistensi (TB yang tidak
mempan dengan obat TB biasa)! Jadi, bila Anda mengalami gejala-gejala yang
dicurigai mengarah ke TB, langsung saja datang ke fasilitas kesehatan milik
pemerintah untuk mendapatkan pemeriksaan sekaligus pengobatan gratis. Tidak
usah lagi kita menahan-nahan diri untuk berobat karena takut akan “dirampok”
uangnya untuk menebus obat.
Kembali ke persoalan judul artikel
di atas, “Benarkah Obat TB Gratis?” dengan lugas bisa saya katakan, “Ya! Tentu
saja!”
[2] http://www.tempo.co/read/news/2013/08/10/060503471/TBC-Superbandeli-Gratis-Pengobatan-Rp-160-Juta-i2i
2 Comments
Benar sekali, obat TB itu gratis, saya tau karena saya pernah mengalaminya. Makanya, jangan patah semangat apalagi sampai putus asa untuk sembuh dari TB, karena obat TB itu gratis.
BalasHapusKunjungan balik ya ?
ok siap
Hapus