Sejak dipisahkan antara profesi dokter dengan apoteker
tahun 1240 di kerajaan Sicillia, wewenang profesi apoteker terus berkembang
dari yang semula hanya meracik dan menyerahkan resep apa adanya, menjadi
profesi yang bertanggung jawab pula bagi keberhasilan luaran (outcome) pengobatan pasien melalui
konsep Asuhan Kefarmasian. Bahkan di beberapa negara, apoteker diberikan wewenang
untuk dapat memberikan suntikan imunisasi.
Bagaimana
di Indonesia? Profesi apoteker di Indonesia bisa dikatakan belum banyak
berkiprah dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Profesi ini di Indonesia merupakan
profesi yang masih berumur muda, karena perguruan tinggi pertama di Indonesia
baru berdiri tahun 1946 di Klaten. Berbeda dengan profesi dokter, Sekolah Dokter
jawa sudah berdiri sejak 1851, yang kemudian berganti nama menjadi STOVIA pada
tahun 1902. Kedekatan kultural dan psikologis antara masyarakat dengan dokter
pun jauh lebih erat dibandingkan dengan apoteker. Berbeda dengan Amerika
Serikat yang apotekernya berhasil meraih simpati masyarakat dengan Pharmaceutical Care-nya dan menjadi
profesi yang paling dipercaya di sana.
Baru-baru ini
pun semakin nyata fakta bahwa apoteker masih belum mendapat tempat yang layak
di hati pemberi kebijakan publik. Dalam sistem JKN yang baru digulirkan,
kegiatan konsultasi obat oleh apoteker tidak mendapat porsi penjaminan. Padahal
konsultasi obat yang menjadi bagian dari konsep Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) sudah
didengung-dengungkan sejak lama. Namun, memang apoteker kita masih belum
diberikan ruang bergerak yang luas untuk menerapkan hal itu. Sangat asing
terdengar di telinga bila ada seorang pasien rela membayar layanan konsultasi obat
di apotek karena mereka berasumsi bahwa layanan konsultasi itu adalah gratis.
Apoteker di AS melayani pasiennya (dari http://www.dovetailhealth.com/Portals/296744/images/Pharmacist%20Consultation%20with%20Patient.jpg) |
Lalu letak salahnya
di mana?
Akan sangat
naif bila kita mencari pembenaran saja tanpa melihat di mana duduk masalahnya.
Saya melihat
akar masalahnya ada dalam sistem pendidikan kita. Di perguruan tinggi farmasi,
para calon apoteker hanya dijejali materi-materi yang sifatnya hafalan. Materi
yang diujiankan juga hanya sebatas apa-apa yang dihafalkan dan kemudian
dituangkan begitu saja ke atas kertas ujian.
Berbeda
dengan sistem pendidikan kedokteran saat ini yang sudah berubah ke arah Problem Based Learning dalam bentuk
sistem blok yang sangat Student Centered.
Dengan sistem pendidikan semacam itu, para mahasiswa kedokteran sejak dini dilatih
untuk mampu berpikir kritis dalam menelaah kasus per kasus sehingga mereka
terampil dalam mengambil keputusan klinis. Selain itu, dengan sistem blok,
dipastikan tidak ada pengetahuan yang sudah mereka peroleh sebelumnya dilupakan
begitu saja, karena sistem blok mau tidak mau memaksa para mahasiswa untuk
mengaitkan satu mata kuliah dengan mata kuliah lainnya. Tidak berdiri
sendiri-sendiri. Sistem seperti itu membuat apa yang sudah mereka pelajari akan
sulit terhapus oleh pengetahuan selanjutnya yang mereka terima.
Mengapa
sistem Problem Based Learning sangat penting bagi pendidikan
farmasi? Mungkin tingkat kepentingannya bisa kita analisis secara tidak
langsung. Dengan terbiasa berpikir berbasis masalah, kelak bila mahasiswa
farmasi terjun ke masyarakat sebagai apoteker, mereka dapat mengelola
masalah-masalah yang mereka temui belakangan dan terampil mengambil keputusan
yang bermanfaat bagi mereka. Dengan begitu, tidak akan ada lagi apoteker yang
mengeluh tentang sulitnya mengajukan proposal ke pimpinan apotek agar dibukanya
program konsultasi obat berbayar karena mereka akan dengan kreatif dan terampil
dapat mengambil jalan lain sehingga dapat menerapkan prinsip Asuhan Kefarmasian
itu, misalnya lewat jalan membuka Apotek Mandiri seperti yang digagas oleh
Bapak Sampurno A Chaliq, mantan ketua BPOM kebanggaan kita.
Itulah
sebaiknya arah pendidikan farmasi kita arahkan. Demi mencetak apoteker-apoteker
kritis dan berdaya nalar kreatif demi kemaslahatan profesi kita bersama.
Tautan Lomba: www.hpeq.dikti.go.id
0 Comments