Pendidikan Interprofesional (IPE) Profesi Kesehatan di Indonesia

By RFR - Mei 01, 2014


: Obat Manjur Bagi Prasangka Profesi

Bila berbicara tentang prasangka negatif terhadap profesi kesehatan lain, mau tidak mau saya jadi teringat dengan peristiwa sepuluh tahun lalu, saat saya masih bertugas sebagai asisten apoteker di sebuah apotek swasta di bilangan Jakarta Barat. Saat itu saya baru lulus SMF (dahulu masih bernama SMF, kalau sekarang sudah menjadi SMK Farmasi).
Ketika itu saya mendapat giliran tugas pagi, sedangkan senior saya tugas malam. Apoteker apotek pun sepagi itu sedang tugas mengajar di SMF binaannya. Kemudian datanglah seorang pasien manula membawa selembar resep yang ternyata ditulis dr. X yang terkenal tulisannya sulit dibaca. Keringat dingin langsung mengucur dari tubuh saya, tapi jelas saya tidak boleh menolak resep. Saya bisa kena omel pimpinan apotek kalau ketahuan dan kasihan juga pasien malang itu. Juru racik saya yang baik menyarankan agar menelpon dokternya langsung untuk konfirmasi isi resepnya.
Saran itu tidak langsung saya iyakan karena teringat teman-teman saya yang lulusan SMF juga sering menceritakan tentang bagaimana otoriternya seorang dokter kepada profesi kesehatan lainnya, apalagi terhadap orang yang selevel saya. Tapi kepentingan pasien adalah yang utama. Saya pun beranikan diri menelpon dr. X itu. Tak seperti dugaan saya, dokter X dengan hangat meladeni pertanyaan saya dan isi resep itu pun tidak menjadi misteri lagi.
Dari peristiwa itu saya kemudian mengambil kesimpulan, ternyata prasangka-prasangka yang kita miliki terhadap profesi tertentu belum tentu benar, meskipun belum tentu salah juga.
Prasangka-prasangka terhadap profesi dokter, terus terang juga dimiliki teman-teman saya juga yang berprofesi sebagai perawat, ahli gizi, dan kesehatan masyarakat. Mereka berpendapat bahwa dokter adalah profesi yang superior dan suka bertindak semena-mena terhadap profesi lain, pun menyerobot ranah wewenang profesi lain. Sebagai contoh, ada istilah yang dinamakan doctor dispensing, yang artinya dokter menyiapkan obat-obatannya langsung untuk pasiennya tanpa kehadiran apoteker di kliniknya. Hal itu jelas melanggar ketentuan hukum, tapi ada saja dokter “nakal” yang melakukan hal itu. Atau bagaimana seorang sarjana lulusan kesehatan masyarakat “berebut” ranah praktik sebagai pengelola/manajer insitusi layanan kesehatan.
Atau sebaliknya. sejawat dokter juga banyak yang mengeluhkan bagaimana seorang apoteker yang menanyakan kemungkinan terjadinya interaksi obat pada resep yang dituliskannya dianggap sebagai salah satu bentuk intervensi terhadap wewenang mereka. Atau bagaimana sejawat dokter mengeluhkan tindakan perawat senior di rumah sakit tempatnya bertugas yang mengambil wewenang di luar kapasitasnya sebagai perawat.
Bila ditelisik lebih jauh lagi, harus kita akui bahwa ternyata prasangka dan asumsi negatif itu dimiliki juga oleh hampir semua profesi kesehatan terhadap sejawatnya yang berlainan profesi. Sering kali prasangka dan juga “pengambilalihan” wewenang suatu profesi kesehatan oleh profesi lainnya disebabkan karena ketidaktahuan mereka mengenai wewenang dan kewajiban profesi selain profesi mereka atau keengganan mereka untuk berkolaborasi dengan profesi kesehatan lainnya.
Padahal, pemahaman tentang wewenang dan kewajiban profesi lainnya itu merupakan hal yang penting agar tidak menimbulkan kecurigaan antar profesi kesehatan. Dan kolaborasi antar profesi kesehatan adalah kata kunci bagi keberhasilan layanan kesehatan. Toh, para dokter, perawat, bidan, apoteker, fisioterapis, dan lainnya harus bekerja sama juga pada akhirnya saat nanti berkecimpung di dunia pelayanan kesehatan.
Menjawab permasalahan seperti itu, tren dunia kesehatan pun sudah mulai berubah ke arah yang lebih baik. Saat ini sudah ada yang dinamakan dengan Interprofessional Education (IPE) untuk kalangan profesi kesehatan. Kurikulum mengenai IPE juga sudah dirumuskan oleh WHO dan diterapkan oleh banyak negara di dunia. Tapi apa itu IPE? Kita bisa merujuk pada pengertian yang diberikan WHO berikut ini:
…the process by which a group of students (or workers) from the health-related occupations with different educational backgrounds learn together during certain periods of their education, with interaction as an important goal, to collaborate in providing promotive, preventive, curative, rehabilitative and other health-related services. (Dikutip dari “Learning together to work together for health”, WHO, 1988, hlm.6).
Jadi, dalam IPE, tiap mahasiswa profesi kesehatan pada jenjang pendidikan tertentu akan belajar berkolaborasi dengan profesi kesehatan lainnya. Hal ini diharapkan dapat mempertinggi kualitas layanan yang mereka berikan.
Tentu IPE ini merupakan ide yang cemerlang! Selain mempertinggi nilai layanan mereka kepada pasien, kita juga bisa berharap dengan IPE ini, prasangka dan asumsi negatif terhadap profesi kesehatan lainnya dapat berkurang.
            Di Indonesia, kabarnya IPE akan segera diterapkan, tetapi masih memperhitungkan kesiapan instrumen pendidikan kesehatan di Indonesia (kesiapan dosen dan mahasiswa, serta kurikulumnya). Saya pribadi berharap rencana itu dapat terelisasikan segera karena kebijakan ini sangat pro terhadap pasien yang akan mendapat pelayanan prima dari tim yang terdiri dari berbagai profesi kesehatan yang solid. Dan saya berharap juga IPE ini bisa menjadi obat yang manjur untuk mengatasi prasangka negatif yang terlanjur ada di antara profesi kesehatan dan menutup gap yang selama ini menghalangi kita, para profesional kesehatan Indonesia.


  • Share:

You Might Also Like

0 Comments